Sabtu, 24 Januari 2009

Chatting Ilmu :: tentang Khitbah (Ajakan Nikah) Part I

Berikut ini merupakan tanya jawab penulis via YM (catting) , jadi sebelumnya mohon maaf dengan keterbatasan penulis (akh Irfan), tidak sempat kutip dalil-dalilnya.

PERTANYAAN I

ukhtii IS (30/12/2008 17:05:21): pertama, mengenai makna seorang akhwat ketika ia menerima ktbah. sejauh yg IS pahami, ketika seorang akhwat menerima ktbh, berarti ia telah siap mnkh.

ukhtii IS (30/12/2008 17:05:48): dan hrs segera mnkh, kecuali ada uzur syar’i..

JAWABAN I

Untuk menjawab pertanyaan ukhtii ini….

Pahami terlebih dahulu hukum menikah. Dari dalil-dalil yang ada, (hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) hukum asal menikah itu –sebagaimana kesepakatan para fuqaha’- adalah sunnah/mandub, karena indikasi (istilah ulama : qarinah) dari dalil-dalil yang ada menunjukkan bahwa perintah itu bukan perintah atau tuntutan yang bersifat tegas, istilahnya itu –kalau tidak salah- ghair jazm (ukhtii tahu kekhasan metode ushul fiqh Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani ?). Namun, -sebagaimana yang sudah kita pahami-, kondisi seseorang bisa membuat hukum menikah bagi dirinya dalam kondisi tertentu berubah, dari sunnah/mandub menjadi hukum lain (wakarimasuka ???). Misalnya bagi orang yang sudah memiliki kemampuan dan memiliki bekal untuk menikah, di sisi lain ia khawatir tidak mampu ‘iffah, khawatir terjerumus ke dalam fitnah syaithan. Maka hukum menikah bagi yang bersangkutan ialah WAJIB. Memahami hukum menikah ini, akan memberikan jawaban atas pertanyaan ; kapan saatnya bagi seorang ikhwan untuk mengkhitbah ? Atau sebaliknya, kapan saatnya bagi seorang akhwat untuk menerima khitbah ? Bagi mereka yang sudah wajib untuk menikah, ia akan bisa menikah jika sebelumnya ia telah mengkhitbah. Maka saat itulah ia harus mengkhitbah, karena khitbah merupakan permintaan/ajakan untuk menikah (thalaab an-nikaah), pendahuluan sebelum memasuki pintu pernikahan (subhaanallaah).

Berdasarkan dalil hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, saat yang diisyaratkan, saat yang dianjurkan atau bisa juga kita pahami sebagai saat yang tepat untuk mengkhitbah atau menerima khitbah adalah ketika seseorang telah siap atau memiliki ‘azam untuk menikah. Pertanyaan selanjutnya kesiapan yang seperti apa ? Bagaimana ?

Penjelasan Pertama

Kesiapan yang dimaksud lebih kepada kesiapan ruhiyyah dan mental. Kesiapan menanggung beban dan tanggungjawab pernikahan, kesiapan menjalani kehidupan rumah tangga dengan segala konsekuensinya. Bagi sang ikhwan dari sisi nafkah misalnya, ia harus sudah siap untuk berupaya/berikhtiar mencari nafkah (ma’isyah) untuk istri dan anaknya. Dan faktor keberadaan ‘azam (baca : keinginan kuat) pada diri seseorang untuk menikah pun (bukan sebatas keinginan) bisa dijadikan tolak ukur kesiapan untuk menikah. Dengan kata lain, yang diperlukan bagi seseorang untuk mengkhitbah atau menerima khitbah ia harus sudah memiliki ‘azam (pernah dulu ada akhwat –yang bermaksud menawarkan diri- mempertanyakan ‘azam Penulis untuk menikah). Dari referensi yang Penulis pakai, (sebagaimana penjelasan dalam kajian sejauh yang Penulis pahami) ;‘Azam adalah keinginan tegas tanpa ada keraguan (Imam Al-Jurjani dalam At-Ta’rifaat­). ‘Azam adalah sesuatu yang ditegaskan atau diyakini oleh hati bahwa sesuatu itu akan dilaksanakan. ‘Azam adalah niat yang mampu mendorong seseorang untuk berusaha sekuat kemampuannya merealisasikan apa yang telah ia ‘azamkan.Azam yang disertai dengan ketawakalan kepada Allah (faidzaa ‘azamta fatawakkal ‘alallaah……. [QS. Ali Imran : 159]). Jadi ‘azam adalah sesuatu yang telah ditegaskan atau diyakini oleh hati bahwa sesuatu itu (yang di’azamkan) akan dilaksanakan.

Penjelasan Kedua.

Pertanyaan selanjutnya lantas bagaimana dengan kesiapan materi ? Dalil-dalil (hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang ada tidak menjadikan kesiapan materi sebagai prasyarat untuk menikah, misalnya harus sudah punya pekerjaan yang tetap, rumah pribadi, dll. baru bisa menikah. Meskipun memang kesiapan materi ketika hendak menikah itu merupakan keutamaan. Ukhtii pasti pernah membaca hadits dan riwayat-riwayat yang menjelaskan bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallammengizinkan para shahabat untuk menikah meskipun dalam kondisi kurang secara materi (misalnya untuk mahar saja ; shahabat ada yang sanggup hanya dengan hafalan Al-Quran, baju besi, dsb.).

CATATAN : [Pembahasan tentang kesiapan materi ketika hendak menikah ; biasanya berkaitan erat dengan pemahaman terhadap konsep rizki, jangan sampai salah paham, atau salah menempatkan, jika masih ada kebingungan seputar konsep rizki dalam Islam, bisa diskusikan dengan orang-orang yang sudah mafhum (pembahasannya pun ada dalam kitab Asy-Syakhshiyyah Al-Islaamiyyah, jilid I)].

SIMPULAN : Islam memang mensyari’atkan khitbah dalam rangka menuju jenjang pernikahan. Oleh karena itu, jika seorang ikhwan belum memiliki ‘azam untuk menikah sebaiknya tidak mengkhitbah akhwat dulu. Sebaliknya jika seorang akhwat belum memiliki ‘azam untuk menikah sebaiknya tidak menerima khitbah dan atau tidak meminta untuk dikhitbah.

Wallaahu a'lam bish-shawaab

Bersambung.. s.d. 6 pertanyaan .. tinggal diposting..

1 komentar: