Jumat, 30 Januari 2009

Menikah 4 Tahun, tapi Belum Punya Momongan ? Part. II

Kajian Persepektif Medis & Ideologis Seputar Fertilitas (Part. II)

Kâtib[un] : Akh Irfan Rumi Ramadhan *

Tambahan : Ukhtii Utami Handayani, Fak. Kedokteran UNPAD, D4 Kebidanan

  • TINGKATKAN KUALITAS SUAMI

Penting untuk dipahami oleh saudara-saudara yang sudah menikah atau yang baru jadi calon suami (ini tausiyah untuk penulis sendiri) diantara hal yang mesti diketahui bahwa sperma yang tidak berkualitas memang masih mempunyai kemungkinan untuk membuahi sel telur dan menimbulkan kehamilan. Akan tetapi, hasil konsepsi (pembuahan) tersebut akan berbeda dengan pembuahan yang terjadi dengan sperma berkualitas. Bayi yang lahir dari sperma tidak berkualitas bisa saja memiliki kekurangan, seperti mengalami kecacatan atau mengidap penyakit bawaan. Diantara kiat-kiat untuk meningkatkan kualitas sperma ;

- Terapi bekam (al-hijaamah) ; detoksifikasi (penulis paparkan di akhir pembahasan artikel ini),

- Terapi konsumsi herba-herba (penulis paparkan di akhir pembahasan artikel ini),

- Olahraga teratur ; minimal 25 menit per hari,

- Jauhi nikotin (rokok ; baik itu aktif ataupun pasif), dan alkohol,

- Banyak minum air putih ; diutamakan air zam-zam, atau air do’a,

- Asupan makanan yang bergizi ;

Zinc (Zn) terdapat pada daging, hati, kerang, telur, kacang-kacangan, dan serealia (beras dan gandum). Kalsium : terdapat dalam susu dan olahannya; mentega, keju. Kalium: terdapat dalam pisang, tomat, jeruk, melon, kentang, kacang-kacangan, dan sayuran berdaun hijau. Natrium : ada pada garam dapur. Vit A : bisa didapat dari hati, kuning telur, susu, wortel, daun singkong, daun pepaya, mangga masak pohon, pisang raja, tomat masak, semangka. Vit C : bisa didapat dari jambu biji, jeruk, nanas, rambutan, pepaya, gandaria, dan tomat. Vit E : bisa didapat dari sayuran dan buah-buahan, jagung, kacang kedelai, kacang tanah, kelapa.

Dan sejauh yang penulis pahami, masa ‘subur’ (sebenarnya istilah yang tidak tepat/hanya saja penulis pakai istilah ini untuk menggambarkan masa meningkatnya (maaf) libido bagi pria) bagi suami (pria) yaitu masa ketika libido lebih kuat (punten) –dalam kajian Thibbun Nabawiy- setiap bulan, sekitar pertengahan bulan hijriyyah (kalender qamariyyah) ; antara tanggal 13 s.d. 21 setiap bulannya (itu tanggal2 sedang ‘pusing2’nya bagi ikhwan yang belum menikah...punten) hebatnya syari'at mensunnahkan shaum ayyamul bidh (shaum pertengahan bulan) dan waktu utama berbekam (menurut hadits), yakni tanggal 17, 19 dan 21 setiap bulan dalam tahun hijriyyah. (Banyak sekali godaan dan fitnah bertebaran.. kata orang Arab, "hayatusy-syabaab huna sha'bun jiddan 'aurta fii kulli makaan.." . sungguh fitnah dan kemaksiatan yang dibahas oleh Syaikh Nawawi al-Bantani dalam sullamut-taufiq, semuanya diakomodasi oleh sistem thaghut yang tegak saat ini, sistem Demokrasi yang berpijak di atas kaki cacat sekularisme... (fashluddiin 'anil hayah) ..masya Allah.. jika bukan karena pertolongan Allah, tidak akan ada ikhwan yang bisa terhindar dari fitnah-fitnah itu... ).

  • ADAB & ATURAN SYARI’AT SEPUTAR JIMA’

Amalkan adab-adab Islam dalam senggama/jima’. Sudah banyak para ulama yang menjelaskannya diantaranya Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, Syaikh Ibnul Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya Ath-Thibbun Nabawiy, merujuk pada sunnah Rasulullaah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Misalnya diantaranya (mohon maaf, ini dalam konteks ilmu dan penulis tidak kutip dalil-dalilnya) ; (1). Diawali dengan basmalah dan do’a (do’a sebelum jima’, sudah penulis kutip di awal pembahasan artikel ini), (2). Diawali dengan cumbu rayu mesra (pemanasan/fore play) sebagai pengantar jima’, di sisi lain agar istri ’lebih siap’ (karakternya berbeda dengan suami), (3). Dilakukan dengan lembut dan penuh kasih sayang, tidak kasar/tergesa-gesa seperti binatang, dan bisa didukung dengan mengkondisikan suasana romantis, (4). Setelah suami merasa ’cukup’, tidak beranjak sebelum sang istri (maaf) ’terpuaskan kebutuhannya’, sehingga keduanya merasa ’kebutuhannya’ tercukupi, semakin mempercantik keharmonisan hubungan. Dan beberapa aturan lain, misalnya ; (-). Sebaiknya posisi suami di atas istri, (-). tidak boleh (haram) menjima’ istri (maaf) pada lubang duburnya, (-). haram berjima’ ; ketika siang hari di bulan Ramadhan ; ketika sedang ihram ; ketika istri sedang haid – nifas (nb : berbeda perincian hukumnya dengan kasus darah istihadhah, sudahkah suami paham tentang hal ini ?), dll. Hukum istimta (bermesraan) dengan istri yang sedang haid : ijma’ ulama ; tidak mengapa memeluk, menyentuh, mencium istri yang sedang haid, selain pada anggota badan antara pusar dan lutut (farji’, maaf). Para ulama berselisih pendapat di dalam masalah ber-istimta (berseronok) pada anggota badan istri di antara pusar dan lutut. Terdapat tiga pendapat : jumhur (kebanyakan) ulama, termasuk Imam Syafi’i, Maliki, dan Abu Hanifah berpendapat hukumnya adalah haram (pendapat ini yang penulis tabanni, ghalabatuzh-zhan). Berdasarkan hadis Aisyah r.a. riwayat syaikhain yang melarang berbuat demikian. Dan untuk menghindari perbuatan haram (saddan liz-zaraiI). Ada juga para ulama yang berpendapat lain, dan ada yang merincinya (penulis kurang begitu mafhum). Dr. Wahbah al-Zuhaili men-tarjih-nya dalam Al-Fiqh al-Islami, vol 3, hal. 552-554 dari sebuah sumber). Dari referensi yang penulis baca, mengenai bercakap-cakap dengan istri ketika jima’ sebagian kitab memakruhkannya (lihat : Al-Fiqhul Wadhih, vol. 2, Dr. Muhamad Bakr Ismail dari sebuah sumber). Adapun mengenai batasan aurat pasutri para ulama sejauh yang penulis ketahui memang sedikit ber-ikhtilaf (berbeda pendapat), ketika berbicara tentang hukum (maaf) suami melihat farji’ istri atau sebaliknya, namun yang penulis tabanni (adopsi) berdasarkan ghalabatuzh-zhann ialah yang memperbolehkannya, dengan kata lain tidak ada batasan aurat bagi pasutri. Sungguh Islam dengan syari’atnya yang diamalkan sebagaimana mestinya (kaaffah –QS. Al-Baqarah : 208-). Mengamalkan syari’at dengan niat mengharap keridhaan Allah (ikhlas fillaah) dan motivasi ruhiyah (al-quwwah ar-ruuhiyyah), mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat. Bukankah qath’iy Islam adalah rahmat bagi semesta alam ? Ya ! Sungguh terbantah apa-apa yang difitnahkan oleh orang-orang kafir dan antek-anteknya yang menyudutkan Islam dengan stigma-stigma negatifnya yang murahan dan tidak berdasar.Wallaahu a’lam bi ash-shawaab.

TAFAKUR

Berikut ini kisah malam pertama Syaikh Asy-Sya'bi, seorang tabi'in terkenal yang menikahi seorang perempuan dari Bani Tamim bernama Zainab binti Hudhair. Syaikh Asy-Sya'bi menuturkan sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Jauzi dalam kitabnya Ahkaamun Nisaa': "Setelah selesai walimah dan suasana kembali tenang, aku masuk menemuinya dan berkata, 'Sesungguhnya termasuk sunnah mengerjakan shalat dua raka'at. Lalu aku berdiri melakukannya dan memohon kepada Allah agar melimpahkan kebaikan di malam ini. Ketika aku berpaling ke kanan mengucapkan salam, aku melihatnya ikut shalat di belakangku. Kemudian ketika berpaling ke kiri, aku sudah melihatnya sudah berada di tempat tidurnya. Akupun mengulurkan tanganku, tetapi ia berkata, 'Sabarlah, sesungguhnya aku adalah perempuan yang asing bagimu. Demi Allah, kini aku sedang meniti jalan yang paling berat yang sebelumnya belum pernah ku alami. Engkau adalah laki-laki asing, aku belum mengenal perangaimu, maka ceritakanlah hal-hal yang engkau sukai untuk aku kerjakan dan hal-hal yang engkau benci untuk aku hindari. Akupun menjawab, 'Aku suka ini dan ini, aku benci ini dan itu,... sementara ia mendengarkanku dengan penuh perhatian. Akhirnya malam yang paling indah itupun aku raih."

  • FREKUENSI JIMA’

Frekuensi jima' (punten) : dianjurkan secara medis sebaiknya 3 hari sekali (ingat : bukan 3 kali dalam sehari ya...). Pertimbangan secara medisnya lebih kepada pertimbangan kualitas ; pematangan spermatozoa pria membutuhkan waktu kurang lebih 3 hari, jadi jika jima’ dilakukan pasutri setiap hari, spermatozoa yang dihasilkan suami kurang matang, yang artinya kualitasnya lebih rendah. Itu artinya secara medis, terlalu sering melakukan hubungan intim (misalnya 3 kali sehari) justru akan mengurangi kualitas ‘hubungan’ karena jumlah sel sperma yang matang tidak cukup memenuhi standar minimum sel sperma sampai terjadi kehamilan. Anjuran ini dalam konteks jika pasutri sedang mengupayakan kehamilan sang istri. Anjuran ini mungkin agak berat bagi suami…(duhh), di tengah kondisi saat ini ketika fitnah dimana-mana. Oleh karena itu, saran dari penulis, suami mempertimbangkannya juga dengan prioritas (al-awlaawiyaat) ’kebutuhan’ ; misalnya demi menghindari zina atau meredam rangsangan terhadap wanita lain yang tidak halal, dan ingat : pertimbangkan juga kondisi istri, misalnya tidak ketika istri sedang sakit, atau kelelahan. Wallaahu a’lam bi ash-shawaab.

  • POSISI KETIKA JIMA’

Posisi suami istri ketika jima'’ (mohon maaf) ; posisi jima' yang ideal dan optimal dan sesuai dengan sunnah (perbuatan) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam thibbun nabawiy) adalah ‘posisi suami di atas istri’ (mohon maaf), hal ini dijelaskan oleh para ulama, diantaranya Imam Ibnul Qayyim dalam kitab Ath-Thibbun Nabawiy atau ulama lain dalam buku Qurratul ’Uyuun (seputar munakahat, MP). Dan sudah terbukti secara medis, banyak dokter spesialis kandungan menyarankan posisi pria diatas (dikenal juga dengan istilah man on top). Hal ini bermanfaat untuk optimalisasi tersalurkannya sperma dengan kuantitas optimal (tidak tertampung atau tumpah), wakarimasuka ? Beberapa ahli kandungan pun menganjurkan istri mengganjal pinggul dengan bantal ketika jima’ (maaf). Adab Islam seputar ini, salah satu contoh yang cukup menguatkan keyakinan kita, bahwa Islam itu komperhensif ; mengatur segala aspek kehidupan manusia. Mengagumkan !

bersambung....

1 komentar:

  1. Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kita perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu

    BalasHapus