Kamis, 05 Maret 2009

Media Massa & Jurnalis Sang Pejuang

Catatan Pinggir Majalah Ekspansi Bulan Maret, Edisi VII, Tahun 2009

”Saya lebih suka berhadapan dengan 3.000 pasukan perang daripada harus berhadapan dengan seorang jurnalis. Karena ia mampu membolak-balikkan kondisi perang yang sedang berkecamuk dengan penanya. Sedangkan pasukan tak mampu berbuat demikian dengan pedangnya”

Seperti itulah ilustrasi kekuatan seorang jurnalis di mata Napoleon Bonaparte, sang seniman perang dari Prancis. Sebuah ilustrasi yang menggambarkan kekuatan seorang jurnalis yang berpotensi bisa jauh lebih ’mematikan’ ketimbang ribuan pasukan perang. Jurnalis, memang seniman perang yang menjadikan pena sebagai senjata, dan kata-kata sebagai peluru. Pena di tangan seorang jurnalis bagaikan pedang yang dimainkan ahli pedang, bisa dipakai untuk melakukan kejahatan, atau digunakan seoptimal mungkin untuk membela kebenaran. Hebatnya, bisa merubah banyak orang dalam satu waktu dan tak mudah lapuk seiring berjalannya waktu. Inilah ilustrasi yang tak disangsikan lagi memang bisa terbukti kebenarannya. Pasalnya, dari masa ke masa, seringkali jurnalis berada di balik layar revolusi negara-negara besar dunia, dengan senjatanya yang mampu membentuk dan menggiring opini masyarakat. Dan tak disangsikan lagi, ialah sosok kreator yang bisa ikut ambil bagian besar dalam proyek mulia bernama ’KEBANGKITAN IDEOLOGIS’.

Namun, jika memperbincangkan sosok jurnalis, memang setali tiga uang dengan peranan media massa (pers). Keduanya, ibarat dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Media massa ialah kendaraan bagi jurnalis untuk mempublikasikan buah pikirnya. Maka tidak salah jika dikatakan, tanpa peranan media massa jurnalis ibarat prajurit perang yang tak memiliki kendaraan untuk bergerak maju ke medan peperangan. Sebaliknya, begitu pula bagi media massa, khususnya koran atau majalah yang tanpa keberadaan jurnalis, bagaikan pesawat perang tanpa pilot. Maka perhatikanlah apa yang bisa diperbuat oleh sosok jurnalis dengan media massa pendukungnya.

Jeremy Bentham, ahli filsafat hukum abad 18, mengungkapkan bahwa tanpa publisitas media massa terhadap keseluruhan kegiatan pemerintah di sebuah negara demokrasi maka keburukan akan menjadi permanen. Tak mungkin ada kinerja pemerintah yang baik tanpa bantuan publisitas media massa. Karena rakyat atau publik tak dapat menilai jalannya pemerintahan tanpa informasi yang lengkap dari media massa. Seorang pakar hukum Belanda, Kirk Donker Curtius (1883) menjuluki media massa dengan sebutan ”Ratu Bumi” (de koningin der aarde) karena dalam persepsinya, media massa lebih mampu menerangi akal, pikiran, dan hati manusia daripada pemerintah. Media massa pun mampu mempengaruhi sikap dan perilaku orang dan publik. Sesuai dengan nasihat Ali bin Abu Thalib, ”ikatlah ilmu dengan menuliskannya”. McDevitt (1996: 270) mengatakan, ”Media massa cukup efektif dalam membangun kesadaran warga mengenai suatu masalah (isu)”. Sedangkan Lindsey (1994: 163) berpendapat, ”Media massa memiliki peran sentral dalam menyaring informasi dan membentuk opini masyarakat.”

Dalam konstelasi warna-warni dunia politik pun, media massa acapkali dimanfaatkan sebagai instrumen kampanye yang bisa menjangkau publik secara luas dan cepat. Yudi Latief, memaparkan data-data empiris peran media massa dalam isu politis. Sebagai contoh, biaya salah satu partai politik di televisi yang mencapai 15 milyar rupiah per bulan, atau kasus calon pemimpin yang menjadi gila karena gagal menjadi pemimpin tetapi sudah mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk propaganda di media massa..

Namun, sejauh mana keampuhan senjata jurnalis dan media massa dalam arus perubahan. Hal ini sangat ditentukan oleh idealismenya. Karena media massa itu sendiri bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi, media massa bisa berperan sebagai penyambung lidah kebenaran dan menjunjung tinggi idealisme. Media massa seperti inilah yang ikut ambil bagian dalam proyek mulia bernama ’Perubahan & Kebangkitan Umat’, menjunjung tinggi idealisme dunia pers. Dengan peran para jurnalis yang menggunakan senjatanya untuk membentuk dan mengarahkan opini umum masyarakat ; pemahaman, keyakinan dan standar nilai terhadap kebenaran. Bahayanya, ada sisi kedua, sisi yang sebaliknya, yakni jika media massa ’ditunggangi’ oleh kepentingan-kepentingan segelintir orang yang gila harta dan haus kekuasaan, tak berhaluan alias pragmatis dan menghalalkan segala cara dan berdiri di atas tujuan materialistic oriented. Media massa seperti inilah yang justru menghambat bahkan kontraproduktif terhadap kebangkitan, karena berada di bawah ketiak segelintir orang yang gila kekuasaan. Mengkhianati idealisme, dan semakin memperkeruh kehidupan. Berpihak pada wong licik dan tinggalkan wong cilik. Namun, yang pasti keduanya jelas berbeda, dan tak sulit untuk kita saksikan media massa dan jurnalis sang pejuang atau media massa dan jurnalis sang ’pecundang’.

1 komentar:

  1. INI BUKTINYA : PUTUSAN SESAT PERADILAN INDONESIA

    Putusan PN. Jkt. Pst No.Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan demi hukum atas Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
    Sebaliknya, putusan PN Surakarta No.13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku Usaha/Tergugat (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap di Polda Jateng.
    Ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada saja hakim yang berlagak 'bodoh', lalu seenaknya membodohi dan menyesatkan masyarakat, sambil berlindung
    di bawah 'dokumen dan rahasia negara'. Maka benarlah statemen KAI : "Hukum negara Indonesia berdiri diatas pondasi suap". Bukti nyata moral sebagian hakim negara ini sudah sangat jauh sesat terpuruk dalam kebejatan.
    Quo vadis hukum Indonesia?

    David
    (0274)9345675

    BalasHapus