Kamis, 05 Maret 2009

Jawaban Singkat Beberapa Pertanyaan Menarik

Berikut akan saya jawab beberapa pertanyaan yang sekiranya saya sanggup, hasbal istitha'ah. Sebelumnya, saya ingin mengetengahkan maqalah Imam Asy-Syafi'i: 'ra'yii shawaabun yahtamilul khatha' wa ra'yu ghairii khatha'un yahtamilush-shawaab'. Maqalah tersebut dikutip antara lain oleh penulis kitab at-ta'aamul ma'a al-irhab wal 'unfu wat-tatharruf hal 16 karya Muhamad Sa'id Khawjah.

Ya rahimakumullaah, Muqaranah dan mujadalah (perbandingan dan diksusi) adalah tradisi ilmiah yang sudah tumbuh sejak masa awal sejarah manusia. Al-Qur’an telah mendokumentasi tradisi ini hampir pada setiap masa kenabian. Allah SWT berfirman: “Dan tidaklah Kami mengutus rasul-rasul hanyalah sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi orang-orang yang kafir membantah (mendebat) dengan yang bathil, agar dengan demikian mereka dapat melenyapkan yang hak…”(TQS. al-Kahfi [18]: 56). Kisah-kisah mujadalah juga termuat dalam dokumen sejarah, baik yang tercantum dalam sunnah, atsar dan dokumen-dokumen sejarah lainnya. Motif utama dari diskusi dan perbandingan adalah mencari kebenaran tertinggi, sekaligus untuk mengoreksi pendapat-pendapat dan keyakinan-keyakinan yang salah. Dengan diskusi, akan diketahui pendapat siapakah yang paling dekat dengan kebenaran, dan pendapat siapa yang lemah. Bila suatu pendapat telah terbukti lemah dan salah, maka pendapat itu harus ditinggalkan dengan sikap lapang dada, dan penuh keikhlasan.

1. Bagaimana penjelasan terkait puasa sunnah di bulan rajab? Hadits-hadits tentang keuatamaan bulan rajab, seperti tentang puasa rajab dan yang lainnya adalah dha’if. Contoh hadits: "Rajab adalah bulan yang agung, dimana Allah akan melipatgandakan perbuatan-perbuatan baik di dalamnya..maka barang siapa puasa satu hari maka dia seperti puasa satu tahun.." (Akhrajahuth-Thabarani). Al-Hafidz Al-Haitsami dalam majma 'uz zawaa'id (3/386) berkata: "di dalam sanadnya ada Abdul Ghafur, matruk. Tentang hadits-hadits fadhilah rajab ini detilnya bias dicek di dalam kitab al-aatsarul marfu'ah fil akhbaril maudhu'ah karya Al-allamah Al-luknuwi.

Adapun hadits dengan status matruk adalah sebagai berikut:

هُوَ الْحَدِيْثُ الَّذِيْ يَكُوْنُ أَحَدُ رُوَاتِهِ مُتَّهِمًا بِالْكَذِبِ

Yaitu hadits yang salah seorang rawinya tertuduh berdusta

Sebagian ahli hadits mempersyaratkan bahwa matannya harus bertentangan dengan dasar-dasar Islam yang telah dikenal. Tetapi pendapat itu bukanlah suatu hal yang lazim, karena andaikata harus demikian maka tidak ada lagi orang yang dijauhi, sehingga haditsnya tetap sahih. Terlebih lagi apabila hadits tersebut diriwayatkan secara munfarid (seorang diri) oleh rijal yang muttaham (tertuduh berdusta)” tanpa diikuti dengan adanya tabi’ seorang pun. Contoh hadits matruk adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dun-ya di dalam Qadla’ al-Hawaij (no. 6) dengan jalan melalui;

جُوَيْبِرْ ْبُن سَعِيْدٍ اْلأَزْدِي، عَنِ الضَّحَاكِ، عَنْ ابْنُ عَبَّاسَ عَنِ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: عَلَيْكُمْ بِاصْطِنَاءِ الْمِعْرُوْفِ فَإِنَّهُ يَمْنَعُ مَصَارِعَ السَّوْءِ، وَعَلَيْكُمْ بِصَدَقَةٍ السِرِّ فَإِنَّهَا تُطْفِئُ غَضَبَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ

Juwaibir bin Sa’id al-Azdiy, dari Dhahak, dari Ibnu Abbas dari Nabi sae, beliau bersabda; Hendaklah kalian berbuat ma’ruf, karena ia dapat menolak kematian yang buruk, dan hendaklah kamu bersedekah secara tersembunyi, karena sedekah tersembunyi akan memadamkan murka Allah swt.

Di dalam sanad ini terdapat rawi yang bernama Juwaibir bin Sa’id al-Azdiy. An-Nasa’i, Daruquthni, dll. mengatakan bahwa haditsnya ditinggalkan (matruk). Ibnu Ma’in berkata, “Ia tidak ada apa-apanya”, menurut Ibnu Ma’in ungkapan (tidak ada apa-apanya) ini berarti ia tertuduh berdusta.

Sebagian rawi memiliki istilah lain untuk menyebut hadits matruk. Ada di antara mereka yang menyebutnya dengan nama mathruh (terbuang), ada pula yang menyebut wah (lemah) dan lain-lain. Terlepas dari semua itu, hadits dengan kualitas rawi seperti ini kedudukannya berada di bawah hadits dha’if yang kedha’ifan ringan. Tertapi hadits ini masih lebih tinggi derajatnya daripada hadits maudlu’. Allahu A’lam.

2. Bagaimana mengamalkan hadits dha’if?

Para ulama telah berbeda pendapat dalam hal mengamalkan hadits dha’if. Ada beberapa penjelasan terkait berhujjah dengan hadits dha’if dalam fadhaa'ilul a'mal: Dalam kitab muqaddimah fii ushulil hadits (1/83) dijelaskan: 'yang masyhur adalah bahwa hadits dha’if itu mu'tabar(diperhatikan/diterima) untuk fadhaa'ilul a'mal'. Dalam kitab taujihun nadzar ila ishulil atsar (2/653): 'sebagaian kaum (ahli hadits) berpendapat atas bolehnya mengambil hadits maudhu' dan menggampangkan isnad dan riwayatnya tanpa menjelaskan dha’if-nya, jika selain hukum dan akidah, contoh untuk fadhaa'ilul a'mal'. Di sinilah jumhur ulama hadits lebih menyukai mengamalkan hadits dha’if dalam perkara fadhaa'ilul a'mal, itu pun memenuhi tiga syarat seperti yang dipaparkan oleh Imamul muhaditsin Ibnu Hajar (Tadrib ar-rawi, juz I/298-299; fathu al-Ghaits juz 1/268): a. haditsnya tidak sangat dha’if b. haditsnya termasuk di dalam cakupan pokok-pokok hadits ma'mul (bisa diamalkan) c. tatkala mengamalkannya, tidak dii'tiqodkan mengenai kepastiannya hanya sekedar kehati-hatian saja.

Dalam kitab an-nukat ala muqaddimah ibn shalah (2/310) ditegaskan: 'bhw ahli hadits dan yang lain sepakat (akan bolehnya) beramal dg fadhaa'il'. Namun Al-hafidz Ibnul Arabi Al-maliki menegaskan: 'hadits dha’if sama sekali tidak (boleh) diamalkan'.

Adapun pendapat yang terkuat adalah: hadits dha’if tidak boleh digunakan sebagai hujjah, karena hakekatnya hadits dha’if itu bukan hadits Nabi. Maka kita tidak boleh beramal dengan hadits dha’if meski hanya untuk fadha'ilul a'mal (untuk keutamaan-keutamaan dalam beramal). Karenanya hizbut tahrir menegaskan: ’...karena itu tidak boleh beristidlal (berdalil) dengan hadits dha'i sama sekali..’ (asy-syakhsiyyah al-islamiyyah, 1/342).

Dengan demikian, hadits dha’if sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Merupakan suatu kekeliruan anggapan bahwa hadits dha’if apabila datang dari jalur yang bermacam-macam yang sama-sama dha’if maka (hadits dha’if) meningkat derajatnya menjadi hadits hasan atau hadits shahih. Apabila kelemahan hadits disebabkan oleh kefasikan perawinya atau benar-benar dituduh berbohong, kemudian datang dari jalur lain berupa hal yang serupa maka justru akan bertambah lemah selemah-selemahnya. Namun jika makna yang dikandung oleh hadits dha’if dikandung pula oleh hadits shahih, maka hadits dha’if tersebut (yang disaksikan oleh oleh hadits sahih) harus ditingglkan. Berdasarkan hal ini tidak boleh mengambil dalil dengan hadits dha’if sama sekali dengan cara apapun. (lihat syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam syakhshiyyah islamiyyah juz 1/342).

Ungkapan saya yang mengatakan bahwa ijma’ mujtahid tidak menjadikan hadits dha'if sebagai hujjah, adalah tradisi para ulama dalam memberikan pembenaran atas argumentasinya, setelah dibangun di atas dasar al-Qur’an dan as-Sunnah. Makanya, silahkan dicek pendapat fuqaha (mujtahid) dalam masalah ini, bukan muhadits. Hal yang sama juga terjadi dalam perbedaan ketika menyikapi hadits ahad (khabar al-wahid); apakah melahirkan keyakinan ataukah dzan. Sebagain besar muhadits menerima, namun dalam beristidlal, jumhur fuqaha berpendapat bahwa khabar al-wahid tidak berfaedah al-ilm/yaqin. Terkait dengan penisbatan mana ulama yang mu’tabar mana yang tidak, ada baiknya membuka kitab mu’zam fuqaha. Namun yang paling penting adalah bukan mana yang jumhur (yang bisa dikatakan ijma’) dan mana yang tidak (mungkin saja disebut pendapat yang gharib), tetapi yang harus menjadi pijakan kita adalah kuat dan lemahnya pendapat.

Adapun ungkapan bahwa pengarang kitab fadha'ilul a'mal tidak berilmu, itu bukan pendapat saya. Kala itu saya hanya menunjukkan bahwa ada komentar dari sebagian (terutama kalangan salafi-thahawiah) yang menyatakan bahwa pengarang kitab fadha'ilul a'mal tidak berilmu. Hal itu dapat dimaklum mengingat ikhwah salafi sangat selektif dalam masalah hadits, di sisi lain kitab fadha'ilul a'mal banyak beristidlal dengan hadits dha’if. Sikap kita tentunya harus semakin hati-hati. Karena hati-hati adalah sikap para ulama.

Khulashatul qaul, perbedaan pendapat di kalangan para ulama sudah biasa, bahkan terjadi dengan sangat keras, dan hal itu merupakan bagian dari tradisi Islam yang secara normatif dikenal dalam bidang kelimuan Islam, seperti ta’aadul—ta’aarudl (ta’aarudl adalah istilah yang lebih tepat dari pada ta’aadul) dan metode tarjih. (bisa dicek dalam kitab tTa’arudl al-Adillati as-tyar’iyati min al kitabi ta as-tunnati ta at-tarjihu tainaha karya Dr. Muhammad Wafaa). Silang pendapat di kalangan para ulama akan semakin memperkaya khazanah keislaman kita, juga dapat melatih ketajaman kita sebagai ahli tahqiq. Namun perlu diingat, bahwa seorang muslim, baik sebagai mujtahid maupun sebagai muqolid, harus memegang teguh dalil yang rajih (kuat) bukan yang marjuh (lemah).

Benar bahwa tidak ada afkar mutabanat hizb yang menjelaskan tentang puasa rajab, tapi perlu diingat hizb telah memberikan kaidah dalam beristidlal kepada para syabab. Termasuk dalam objek ini adalah perkara pengamalan hadits dha’if. Wallahua’lam.

3. Mohon penjelasan sekitar makna Isra’ Mi’raj, kapan Isra’ dan mi’raj itu terjadi, dan berapa kali?

Makna bahasa israa' dan mi'raj: (a) israa': huwa al-masy-yu fil laili, saraa: masyaa fil laili, wa asraa: masyaa lailan (israa' adalah berjalan pada waktu malam, karena kata saraa: berjalan pada waktu malam, maka kata asraa: berjalan malam; (b) al-mi'raaj: wahuwa mif'aalun minal 'uruuj, wahuwa ismun li aalatin al-latii 'alaiha 'urija bihi saw (al-mi'raaj adalah yang mengikuti wazan mif'aalun dari kata 'uruuj, dan mi'raaj adalah isim alat (nama sarana) yang (Nabi) Saw. dimi'rajkan dengannya. (syarh 'aqiidah ath-thahaawiyyah, Shaalih al Asy-syeikh,1/176); (c) Maka israa' adalah nama suatu perbuatan, yakni perjalanan yang terjadi antara Makkah ke Baitul Maqdis pada waktu malam, pada waktu yang ditentukan, kemudian kembali. (syarhu 'aqidah ath-thahaawiyyah, shaalih al asy-syeikh, 1/176).

Israa' dan mi'raaj itu kapan? (a) Tidak ada khabar yang shahih yang membatasi atau menentukan israa' dan mi'raaj, baik pada rajab atau pada bulan lain. (syarah aqidah ath-thahawiyyah, 1/178). (b) Ada yang menyatakan bahwa israa' dan mi'raj terjadi 15 bulan setelah Beliau Saw. Diutus. Ada juga yang menyatakan pada malam-malam rabi'ul awwal 1 tahun sebelum hijrah. Juga ada yang menyatakan 5 tahun setelah Nabi diutus (Al-Hafidz An-nawawi, syarhun nawawi 'ala shahih muslim, 2/267-268); (c) Al-hafidz Ibn Qayyim berkata: "sesungguhnya malam israa' tidak diketahui kapan terjadinya" (zaadul ma'ad, 1/58); (d) Al-Allamah Abu Syamah berkata: "dan disebutkan pada sebagian kisah bahwa israa' terjadi pada (bulan) rajab, dan itu bagi ulama' ahli jarh wat-ta'dil dan takhrij adalah kebohongan itu sendiri" (al-hawaadits wal bidaa', 232). Jadi intinya tidak nash yang shahih dan sharih yang menegaskan waktu israa' dan mi'raaj, baik pada tanggal 27 rajab atau yang lain.

Al-allamah Syihab Al-Khafaajii dalam syarah asy-syifa' (libni iyadh) berkata: "sebagian ulama' muta'akh-khirin mengatakan bahwa apa yang tersebar luas saat ini di sebagian negeri Mesir adanya peringatan malam 27 dan diklaim sebagai malam isra' dan mi'raj, itu adalah bid'ah" (syarh al-aqidah ath-thahawiyyah lil hawaali, 1/1812).

Demikian juga, ada pertanyaan susulan, apakah isra' dan mi'raj Nabi dengan jasad dan ruh sekaligus? Al-hafidz Ibn Katsir berkata: "dan yang haq adalah bahwa beliau AS israa' dlm kondisi bangun bukan tidur dari Makkah ke Baitul Maqdis dengan mengendarai buraq" (tafsiribn katsir, 5/42).

Israa' dan mi'raj berapa kali? Al-allamah Shaalih Al Asy-syeikh berkata: "dan mungkin mengandung alternatif pada sebagian riwayat bahwa israa' itu terjadi dua kali, tapi yang paling dekat dengan dzahirnya dalil-dalil adalah bahwa israa' dan mi'raaj itu keduanya terjadi satu kali saja". (syarh al-aqidah ath-thahawiyyah,1/178).

Khulashatul qaul, pendapat terkait israa' dan mi'raj di atas, bukanlah pendapat hizb (karena hizb tidak mentabani hal itu), melainkan pendapat sebagaian ulama yang dapat menjadi pijakan kita. Wallahu a'lam.

4. Apakah ilmu termasuk rizki?

Berkaitan dengan ilmu, ilmu adalah rizki. Pengertian rizqi adalah -athaa' (pemberian) (tafsir al-qurthubi,1/178). Ibn mandzur menjelaskan bahwa rizki adalah setiap hal yang bisa dimanfaatkan, baik harta, kedudukan, kekuasaan, kesehatan, pakaian, tempat tinggal, keluarga atau ilmu. Dan rizki tersebut mencakup semua pemberian baik duniawi maupun ukhrawi. Rizki ada dua bagian, rizki yg dzahir untuk badan seperti kekuatan, dan rizki yang sifatnya batin dalam hati maupun jiwa seperti pengetahuan dan ilmu. (Ibn mandzur, lisanul arab 3/1636; syeikh muhammad anwar, mafahim Islamiyyah 1/160). Imam al-haramain al-juwaini menegaskan bahwa makna rzki adalah setiap hal yang diperoleh manfaat darinya, baik yang siap dimanfaatkan maupun yg tidak (al-irsyad hal 364). Pada faktanya, rizki ada yg halal dan yang haram (Imam al-Juwaini, al-irsyad hal 364). Dengan demkian mencari ilmupun harus dengan 'haal' yg benar. Mudah-mudahan kita pun bersungguh mencarinya dengan ikhlas.

5. Bagaimana hukum menjadi pengacara, bolehkah?

Hukum menjadi lawyer adalah bagian dari pembahasan hukum bertahkim pada hukum kufur,krn aktif lawyer pada konteks sekarang ini fokusnya pada advokasi terhadap hukum kufur. Jika kita konfrontir hukum syara' vs hukum kufur, maka ada dua kategori, pertama, hukum syara dengan hukum kufur mengatur sesuatu dengan cara yang berbeda. Hukum syara' mengatur begini dan hukum kufur mengatur begitu. Contohnya adalah hukum bagi pencuri, hukum syara' mengatur dengan menjatuhkan sanksi potong tangan, sedangkan dalam hukum kufur dengan bentuk penjara. Kedua, ada hukum kufur yang memubahkan yang haram dan melarang yg mubah. Contoh untuk kasus ini adalah riba. Dalam hukum syara' hukumnya adalah haram. Sedangkan dalam kufur boleh, bahkan 'wajib'.

Berikutnya, kita harus memahami bahwa dalam penerapannya hukum syara' ada bersifat individu dan ada yang harus melalui negara. Jika hukum tersebut penerapannya harus dengan negara, individu atau kelompok tidak boleh 'mewakili' negara untuk menerapkan/menegakkan hukum.

Dengan demikian, bertahkim pada hukum kufur yang mengatur hukum secara berbeda dengan hukum syara', ketika tidak ada daulah adalah boleh. Di samping, itu, tidak ada nash yg melarang hal ini. Dengan catatan hukum kufur tersebut tidak memubahkan yg haram atau sebaliknya, mengharamkan yang mubah. Sebagai contoh, kalau ada orang terlibat dalam kasus perdata, dia boleh datang ke pengadilan untuk menyelesaikan masalahnya tersebut, tdk perlu menunggu khilafah bediri. Tetapi, kita tetap tidak boleh menghalalkan riba meski daulah belum berdiri.. Firman Allah Swt. "waman lam yahkum bima anzalallahu..." maudhu'nya dalam sistem Islam, sekaligus berarti kewajiban bagi kita untuk berjuang mewujudkan institusi khilafah agar kita dapat melaksanakan kewajiban bertahkim pada hukum Allah Swt.

Karena seorang lawyer bagian dari ini, jika dia memberikan advokasi untuk hukum-hukum kufur dimana hukum kufur mengatur berbeda dengan hukum syara' (yg akan diterapkan melalui negara), secara umum boleh, kecuali untuk kasus-kasus yang terkait dengan kemaslahatan kaum muslim atau yang menimbulkan dharar pada kaum muslim., misalnya kita tidak boleh menjadi lawyer-nya intel.

6. Bagaimana hukum mempelajari atau mengajarkan psikologi? Bukankah psikologi itu tsaqofah barat yang tidak boleh diadopsi, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab Daulah Islam?

Memang benar, psikologi tumbuh dan berkembang di barat untuk menjawab masalah-masalah dalam komunitas mereka. Itulah fakta psikologi. Lalu psokologi menyebar ke seluruh dunia seiring dg kuatnya pengaruh barat terhadap belahan dunia yg lain, termasuk dunia Islam. Ibn Khaldun berkata: 'yg dikalahkan akan cenderung mengikuti secara membabi buta pada yang mengalahkan'. Jadi, awalnya psikologi seperti itu dan benar bahwa psikologi termasuk tsaqafah, bukan ilmu. Tepatnya lagi adalah tsaqafah barat, krn psikologi tumbuh dan berkembang di barat sebagai jawaban atas problem komunitas yang mereka hadapi. Hal ini tampak jelas pada asumsi-asumsi dasar dalam psikologi.

Selanjutnya, jika kita mencermati lebih detil, maudhu' psikologi ada yg bersifat empirik, artinya berdasarkan pengalaman yg sifatnya empirik dan ada yang berdasarkan nilai atau pandangan hidup tertentu. Saat ini banyak berkembang psikologi yang sifatnya empirik, contohnya adalah cara memotivasi orang, bagaimana menjadikan orang pesimis menjadi optimis dsb. Bahkan, psikologi juga melibatkan penelitian anatomi dan faal manusi.

Benar bahwa psikologi secara umum adalah tsaqafah barat yang tentunya berbeda dengan ilmu dan tidak boleh diperlakukan sebagai ilmu, itulah yang ditegaskan kitab daulah islam. Ilmu pendidikan berkembang berdasarkan psikologi juga, atau lebih tepatnya pendidikan adalah aplikasi psikologi secara lebih spesifik.

Lantas bagaimana hukum mempelajarinya? Pertama, mempelajari tsaqafah asing, contohnya adalah tsaqafah barat yang lahir karena nilai barat --dalam hal ini psikologi yang tidak bersifat empirik—jika tujuannya untuk tahqiq yakni dalam rangka mengetahui kekeliruan atau dalam rangka mendudukkan secara tepat, juga untuk kepentingan dakwah, tentu saja boleh. Begitulah fatwa imam Al-Ghazali dan Fakhruddin ar-Razy, dan seperti itulah sikap para ulama ketika mereka mempelajari filsafat pasca futuhat di Syam, Irak dan Persia. Kedua, jika tsaqafah tersebut bersifat empirik tentu boleh baik mempelajari maupun untuk memanfaatkannya, tentu harus tetap waspada bahwa psikologi tumbuh dan berkembang di barat yang secara pasti membawa nilai dari barat.

7. Dalam menyewakan lahan pertanian, apakah haram itu bagi si penyewa, yang menyewakan, atau keduanya?

Untuk menjawab masalah ini, perlu dipahami terkait dengan hakikat ijarah dalam Islam. Ijarah atau dalam hal ini sewa adalah salah satu bentuk mu'amalah, dan mu'amalah melibatkan dua fihak. Dalam kasus sewa lahan pertanian berarti yang menyewa dan yang menyewakan. Adapun tentang sewa lahan pertanian ada beberapa hadits yang menegaskan ketidakbolehan orang menyewakan, maupun orang yang menyewa tanah. Dan yang dimaksud dengan sewa tanah di sini adalah lahan pertanian (sawah dan ladang), dan disewakan untuk pertanian. Kalau sewa tersebut dimaksudkan selain untuk pertanian, misalnya untuk gudang atau tempat peristirahatan, maka hukumnya boleh. Tentang teknis mengelola tanah pertanian, dia boleh langsung yang kerja atau boleh juga mempekerjakan orang dengan akad ijarah.

8. Apakah ada dalil dari Al-Quran atau As-Sunnah tentang ketidakbolehan orang non dzurriyatur rasul mengawini dzurriyatir rasul?

Pertama-tama kita harus memahami tentang kafa'ah. Kafa'ah secara bahasa adalah 'al-mumaatsalah wal musaawah'. Adapun secara istilah ada perbedaan diantara para fuqaha' sesuai dengan obyeknya. Pembahasan kafa'ah biasanya dalam 3 maudhu': qishash, mubaarazah, dan nikah.

Apakah dzurriyah rasul tidak boleh menikah dengan yang lain? Setahu saya, tidak ada nash yang sharih mensyaratkan kafa'ah dalam sah/tidaknya pernikahan. Justru yang ada malah sebaliknya, misalnya, pertama, ketika shahabat anshar menolak menikahkan bilal ra., Beliau memerintahkan bilal untuk berkata: inna rasulallahi saw ya'murukum an tuzawwijuunii (majma'uz-zawaa'id 4/296, badaa'iush-shanaa'i', 2/623). Kedua, Nabi bersabda: "laa fadhla li'arabiyyin 'ala 'ajamiyyin..wala aswadin 'ala ahmarin illa bit-taqwa" (musnad ahmad, 5/411, shahih). Ketiga, fakta pernikahan dua putri Nabi Saw. dengan sayyidina utsman ra., padahal dia bukan dzurriyatur-rasul.

Sedangkan makna kafa'ah dalam makna istilah kafa'ah untuk objek pernikaha, fuqaha' 4 madzhab berbeda-beda dalam mendifinisikan. Fuqaha' Hanafi misalnya, kafa'ah adalah 'musaawatun makhshushatun bainar-rijali wal mar'ati' (kesamaan level yang dikhususkan antara laki-laki dan wanita). Dan apakah nikah harus 'sekufu'? Dalam madzhab Syafi'i ditegaskan bahwa pernikahan yang tidak kafa'ah makruh meski dengan ridha. Imam al-iz ibn abdis-salam menjelaskan menikah dengan orang fasiq makruh yang keras, tapi fokusnya kafa'ah fid-din bukan dalam nasab (al-mausu'atul fiqhiyyah 2/12578). Wallahu a'lam.

9. Apakah ada shalat 2 rakaat pada saat terbit matahari, setelah sholat fajar?

Matan hadits yang menjelaskan hal ini adalah: "man shallal ghadaata fii jamaa'atin tsumma qa'ada yadzkurullah hatta tathlu'asy-syamsu tsumma shalla rak'ataini kaanat lahu ajrun ka'ajri hajjatin wa 'umratin"..qala: "tammatin tammatin tammatin" (Akhrajahut Tirmidzi fii kitabil jama'ah 'inda rasulillah, ruqum 535). Imam At-tirmidzi berkata hadits hasan gharib.

Berkaitan dengan status hadits, Al-allamah Al-mubarakfuri menjelaskan dalam kitab tuhfatul ahwadzi (syarah sunan at-tirmidzi): dalam isnadnya ada abu dhilal, dan dia 'dibicarakan', tapi untuk hadits tersebut ada syawahid (yang menguatkan). Al-mubarakfuri melanjutkan: Al-hafidz (Ibn Hajar) berkata bahwa abu dhilal dha'if. Ibn mu'in: (abu dhilal) dha'if. An-nasa'i dan al-azdi juga berkata dha'if. Adapun Ibn hibban berkata bahwa dia pelupa dan tidak boleh berhujjah dengan dia dalam satu keadaan (pun). Demikian juga dengan Al-bukhari, menurutnya padanya ada hadits-hadits munkar. Jadi kesimpulannya --dg memperhatikan pendapat ulama-ulama jarh wat ta'dil-- hadits tersebut dha'if dan tidak boleh dijadikan hujjah.

Adapun berkaitan dengan pengertian hadits, makna "man shallal ghadaata" (shalat shubuh). Pengertian "lalu shalat 2 raka'at", Imam ath-thaibi berkata: lalu shalat setelah matahari naik kira-kira sepenggalah (karena ada hadits shahih contoh riwayat Imam Al-bukhari, Rasul melarang shalat ketika terbit dan tenggelamnya matahari) sampai keluar waktu makruh untuk shalat, ini disebut shalatul isyraq, yaitu 2 rakaat awal shalat dhuha (Al-mubarakfuri, tuhfatul ahwadzi). Dan ini khusus pria karena ada hadits-hadits lain yang menegaskan bahwa untuk wanita shalat dirumah lebih afdhal, bahkan para ulama' sepakat tentang ketidakbolehan wanita-wanita muda berjama'ah di masjid, karena tidak aman dari fitnah.

M. Yuan al Julaniy Lajnah Al-Khaasah Li Kasbul Ulama' wal Masyayikh DPD Kota Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar