Selasa, 03 Februari 2009

Kritik u/k HTI dari 'Aktivis Sirriyyah' & Jawaban Tuntas

Raiisu Tahriir : akh Irfan Rumi Ramadhan*

Penulis sempat berdialog, berdiskusi, berdebat (mujaadalah billati hiya ahsan) dengan seorang ikhwan. Menurut pengakuannya, ikhwan ini eks aktivis Tarbiyah. Ketika pergerakan Tarbiyah mengubah haluan gerakan menjadi partai politik yang terjun ke dalam politik praktis (berganti nama menjadi PK), ikhwan ini termasuk satu di antara + 30% aktivis Tarbiyah yang tidak setuju dengan keputusan tsb. Menurut penuturannya beliau sudah menyampaikan kritikan dan ketidaksetujuannya. Dan beliau salah satu aktivis yang memutuskan keluar (fashl). Berikut ini ialah sebagian kritikan, pertanyaan-pertanyaan dan pernyataan-pernyataannya yang ditujukan untuk semua organisasi di luar kelompoknya. Penulis kutip juga klarifikasinya.

POIN 1

Hizbut Tahrir Indonesia apa bedanya dengan PKS (tidak furqan, berkorporasi dengan pemerintah NKRI) ? HTI daftar di Departemen Sosial (DEPSOS), tidak furqan, berkorporasi dengan pemerintah NKRI yang nb thaghut, kufur.

BERIKUT INI IALAH KLARIFIKASI & KOREKSI

DPP HTI

  1. HTI bukan daftar di DEPSOS tapi di DEPKUMHAM. Dengan menyebut HTI tidak furqan artinya HTI tidak memisahkan haq dengan bathil ? Karena menurut para ulama’ (misalnya) Al-Imam Ath-Thabari (2/70), makna furqan adalah al-fashlu bainal haq wal bathil (pemisah antara yang haq & yang bathil). HTI mencampuradukkan antara yang haq & yang bathil ? Na’udzubillaah tsumma na’udzubillaah,
  2. Sebelum kita kaji bit-tafsil mari kita perhatikan maqalah para ulama’ yang masyhur ketaqwaan, keikhlasan serta ilmunya tentang halal-haram. Imam Asy-Syafi’i ra berkata bahwa yang halal di dalam Daarul Islaam, halal pula di dalam Daarul Kufur, bahwa yang haram di Daarul Islaam juga haram di Daarul Kufur (Kitab Al-Umm, 4/160), dan (dalam hal ini) tidak ada perbedaan di antara para ulama,
  3. Benar bahwa hukum yang berlaku di negeri ini adalah hukum kufur. Lalu apakah registrasi di DEPKUMHAM adalah bertahkim pada hukum kufur/thaghut ?
  4. Ketika Al-Quraan menyebut orang-orang Yahudi & Nasrani menjadikan pendeta-pendeta mereka sebagai ’Arbaab’ (QS. At-Taubah : 31), Adi bin Hatim berkata, ”mereka tidak menyembah pendeta dan rahib-rahib mereka ?” Nabi pun menegaskan , ”tapi mereka mengharamkan yang halal & menghalalkan yang haram lalu mereka, orang Nasrani & Yahudi, mengikuti mereka, maka itulah (pengertian) bahwa mereka beribadah pada pendeta dan rahib mereka” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/66)
  5. Jadi ketika siapa pun yang menghalalkan yang haram atau sebaliknya, lalu orang-orang mengikutinya, artinya orang-orang tersebut menjadikan mereka sebagai Rabb ! Disini HTI perlu tegaskan bahwa kita tidak mengikuti atau membenarkan mereka yang menghalalkan yang diharamkan Allah atau sebaliknya, wal ’iyadzu billaah....
  6. Jika daftar hukumnya bagaimana ? Yaa akhil Kariem.. Al-Quran & As-Sunnah tidak melarang kita bermu’amalah di Daarul Kufur sepanjang tidak mengharamkan yang dihalalkan Allah atau sebaliknya. Tentu mu’amalah tersebut ada administrasinya, misalnya berjual-beli barang ada kwitansinya, begitu pula ketika transaksi kredit/cash ada aturannya, kadang complicated kadang simple, tergantung masalahnya. Adakalanya berhubungan langsung dengan negara, dan adakalanya tidak. Misal beli rumah, kita perlu sertifikat, tentu yang mengeluarkan adalah negara, dst. Hal ini sekali lagi (kami tegaskan) secara syar’i mubah dan tidak ada ulama yang terpercaya yang mengharamkannya !
  7. Begitu pula registrasi yang dilakukan HTI, disana tidak ada syarat yang batil, yang mengharamkan yang halal atau sebaliknya, karena jika ada syarat yang seperti itu tentu hal tsb. adalah batil. Nabi saw menegaskan, ”kullu syarthin laisa fii kitabillaah fahuwa bathilun” (Ibnu Hibban 10/84). Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb

KOREKSI TAMBAHAN

  1. KH. Agus Akhyar Purakusumah (Lajnah Fa’aliyah DPD II HTI Jawa Barat, pimpinan pondok pesantren Miftahul Barakah, Ciparay - Bandung),

Menanggapi kritikan ikhwan ‘aktivis sirriyyah’ ini, setelah penulis meminta pendapat beliau via sms, ”HTI tidak registrasi di DEPSOS, tapi di DEPHUMKAM, dan itu hanya administratif, uslub, hukumnya mubah, seperti kita membuat KTP atau KK”.

  1. Ust. Fauzan (Koordinator Al-Lajnah Al-Khaashah likasbu Al-‘Ulama’ wa Al-Masyaayikh DPD II HTI Kota Bandung)

Ketika penulis kuliah di Bandung, penulis adalah bagian dari Al-Lajnah Al-Khaashah likasbu Al-‘Ulama’ wa Al-Masyaayikh DPD II HTI Kota Bandung, berikut ini tanggapan Ust. Fauzan dalam sebagian nasyrah-nya,

Imamunasy-Syafi’i berkata, ”annal halaala fii daaril Islaam halaalun fii daaril kufri, wal harama fii daaril Islaam haraamun fii daaril kufri” (bahwa yang halal di dalam Daarul Islaam, halal pula di dalam Daarul Kufur, dan yang haram di Daarul Islaam juga haram di Daarul Kufur) [al-Umm, 4/160]. Imam Asy-Syaukani berkata, ”fainna ahkamasy-syar’i laazimatun lil muslimiina fii ayyi makaanin wajaduu, wa daarul harbi laisat binaasikhatin lil ahkaamisy-syar’iyyati aw liba’dhihaa” (sungguh hukum-hukum syara’ itu mengikat bagi kaum muslim di manapun dia berada dan daarul harbi tidak bisa menasakh hukum-hukum syara’ secara keseluruhan/sebagian) [as-sailul jaraar, 4/152]. Sebagai contoh, uang yang diberikan oleh seorang calon Walikota/Gubernur ketika kampanye adalah dianggap risywah. Mengapa ? Sabda Nabi saw, ’la’natullaahi ’alal raasyi wal murtasyi’ [Ibn Majah, 2/775]. Dalam kitab Aunul Ma’bud dijelaskan, Al-Qaari’ berkata, ’maksud (hadits tersebut) yang memberi dan yang mengambil risywah. Yang dimaksud risywah adalah sarana (yang mengantarkan) pada suatu hajah (maksud) dengan rekayasa. Ada (juga) yang menyatakan bahwa risywah adalah yang diberikan untuk membatilkan yang haq atau menjadikan yang batil menjadi haq [Aunul Ma’bud, 8/80]. Hal yang sama dinyatakan oleh Al-Hafizh Ibn Al-Atsir seperti dikutip oleh Ibn Mandzur [Lisaanul ’Araab, 14/322]. Di sisi lain, menjadi Gubernur hukumnya adalah haram. Gubernur adalah hakim sebagaimana Presiden. Jadi kita tidak boleh mencalonkan menjadi Presiden atau Gub/Wagub. Maka, hukum memilihpun sama. Dalam hal ini, hukum memberi/menerima uang dalam Pilgub termasuk risywah dan tidak boleh karena Pilgub termasuk aktivitas batil dan menjadikan yang batil menjadi yang haq. Inilah sehingga memasukkannya ke dalam makna risywah. Wallaahu a’lam.

Para ulama sepakat bahwa ber-tahkim (berhukum) pada hukum kufur adalah haram. Wasilah menuju yang haram adalah haram pula. Hukum ini berlaku baik di Darul Islam maupun Darul Kufur. Ketika Al-Quran menyebut orang-orang Yahudi & Nasrani menjadikan pendeta-pendeta mereka sebagai ’Arbaab’ (QS. At-Taubah : 31), Adi bin Hatim berkata, ”mereka tidak menyembah pendeta dan rahib-rahib mereka ?” Nabi pun menegaskan , ”tapi mereka mengharamkan yang halal & menghalalkan yang haram lalu mereka, orang Nasrani & Yahudi, mengikuti mereka, maka itulah (pengertian) bahwa mereka beribadah pada pendeta dan rahib mereka” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/66). Artinya siapapun yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal, lalu orang-orang mengikutinya, artinya orang-orang tersebut menjadikan mereka sebagai Rabb !

...bersambung... dari penulis...

*Syabab HTI, Mu’allim Thibbun Nabawi

3 komentar:

  1. assalammualaikum. mas tolong pm dong mengenai hukum pemilu. ke benny_mrd@yahoo.co.id

    BalasHapus
  2. memang administrasi boleh namun faktanya UU ormas tersebut mensyaratkan hal yang bertentangan dengan islam seperti harus mendukung NKRI dan pancasila ( lihat UU ormas) dan mustahil bagi negara demokrasi sekuler akan menerima pendaftaran tanpa syarat kepada gerakan islam yang akan membunuh demokrasi itu sendiri? gerakan dakwah Nabi Saw pun ilegal bagi pemerintahan jahiliyah namun beliau Saw tidak meminta agar kelompoknya di legalkan agar dakwah lebih mudah. faktanya beliau Saw dan sahabatnya menanggung penderitaan. menurut saya legalitas yang terpenting adalah dari Allah Swt bukan meminta kepada negara demokrasi sekuler.saya kecewa dengan pendaftaran HTI sebagai ormas lagipula HT adalah partai politik bukan ormas dan keduanya tidak sama.

    BalasHapus
  3. Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kelompok ini perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu

    BalasHapus