Selasa, 03 Februari 2009

Bagaimana Membatalkan Syahadat Ulang ?

Berikut ini adalah tanya-jawab via e-mail penulis dengan seorang akhwat, setelah acara Diskusi Panel di kampus penulis, yang mengangkat tema, ‘Bai’at & Syahadat Ulang : Persepektif Islam’. Sengaja saya posting, semoga bermanfaat

Raiisu Tahriir : akh Irfan Rumi Ramadhan*

SOAL :

Kalo ada temen yang sudah syahadat terus mengakui kalo syahadat ulang dalam Islam itu tidak ada, apa yg harus dilakukan oleh temen kita itu? (arinilhaq@yahoo.com)

JAWABAN :

Jika yang saudari maksud syahadat ulang dalam pertanyaan di atas ialah bai’at dengan lafal syahadat kepada amir jama’ah, bagaimana hukumnya jika dibatalkan dan apa konsekuensinya. Dan dengan pemahaman bahwa bai’ah yang saudari maksud hanyalah sebuah sumpah (qassam) kepada ‘amir sebuah jama’ah (pemimpin sebuah kelompok) bukan bai’ah sesungguhnya dalam arti syar'i kepada khalifah untuk kaum muslimin (ref : Nizhaam al-Hukm fii al-Islaam, al-‘allamah asy-syaikh Taqiyu ad-Diin an-Nabhani. Rev.: asy-syaikh ‘Abd al-Qadim Zallum. Bai’at ….. Mahmud Al-Khalidi), sebagaimana penjelasan KH. Muhammad Shiddiq Al-Jawi (Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI, Pimpinan Ma’had Taqiyu Ad-Diin Yogyakarta) maka jika Anda telah membai’ah sebuah kelompok dan ternyata ada kelompok lain yang lebih sahih, BOLEH hukumnya secara syar'i membatalkan bai’ah yang pertama, dan kemudian membai’ah kelompok yang lebih sahih.

Dalilnya adalah hadis sahih, yaitu sabda Nabi Muhammad SAW "...sesungguhnya saya demi Allah jika Allah menghendaki, tidak akan bersumpah dengan sebuah sumpah lalu saya melihat yang lain lebih baik darinya kecuali saya mendatangi perkara yang lebih baik itu dan saya menghalalkan sumpah".(HR. Bukhari).

Di sisi lain sudah ma’lumun, tentu WAJIB hukumnya keluar dari suatu kelompok, jika kelompok tsb. sudah jelas sesat menyesatkan dengan burhan dan dalil sam’i (naqli) ; argumentatif.

APA KONSEKUENSINYA JIKA MEMBATALKAN SUMPAH TSB. ?

Ketika teman saudari membatalkan sumpah tersebut, teman saudari wajib membayar kaffarah sumpah sesuai QS Al-Maidah : 89.

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya)”.

Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya berkata :

"Ini adalah tiga macam kaffarah sumpah, mana saja yang dikerjakan oleh pelanggar sumpah, akan mencukupinya menurut ijma' ulama. Tiga macam kaffarah tersebut dimulai dari yang paling ringan dan seterusnya, sebab memberi makan lebih ringan daripada memberi pakaian, sebagaimana memberi pakaian lebih ringan daripada membebaskan budak. Jadi kaffarah ini meningkat dari yang rendah kepada yang lebih tinggi. Jika mukallaf tidak mampu melaksanakan salah satu dari tiga macam kaffarah ini, maka dia menebus sumpahnya dengan berpuasa selama tiga hari, sebagaimana firman Allah Ta'ala: Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari." (Tafsir Ibnu Katsir, 3/176).

Jadi, ayat di atas menjelaskan ada tiga macam kaffarah sumpah yang boleh dipilih mana saja salah satunya oleh pelanggar sumpah, yaitu : (1) memberi makan untuk sepuluh orang miskin, dari makanan yang biasanya diberikan seseorang kepada keluarganya, yang menurut Imam Syafi'i masing-masing diberi satu mud; atau (2) memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin, misalnya masing-masing diberi satu baju gamis, atau satu celana panjang, atau satu sarung, dan sebagainya, atau (3) membebaskan seorang budak, yaitu budak mukmin. Jika dia tidak mampu melaksanakan salah satu dari tiga kaffarah ini, maka dia berpuasa selama tiga hari (tidak disyaratkan berturut-turut). (Lihat Imam Jalaluddin As-Suyuthi & Jalaludin Al-Mahalli, Tafsir Al-Jalalain, 2/257, Maktabah Syamilah).

Jika penanya ingin membayar kaffarah dengan beras, maka yang wajib diberikan adalah memberi beras kepada sepuluh orang miskin, masing-masing satu mud (544 gram) untuk satu orang miskin (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah, hal. 60). Inilah yang diwajibkan dan mencukupi untuk membayar kaffarah. Selebihnya dari itu adalah tidak wajib, yaitu sunnah karena dapat dianggap shadaqah yang hukumnya sunnah. Memberi 100 kg untuk panti asuhan menurut kami masih tidak jelas, karena tidak jelas berapa orang yang menjadi penerima beras 100 kg itu, juga tidak jelas berapa kilogram bagian bagi masing-masing penerima. Sebaiknya diperjelas seperti yang telah kami uraikan.

Jika bai’ah teman saudari dulu bukan sumpah, tapi sekedar janji (al-'ahd), maka teman saudari tidak wajib membayar kaffarah apa pun. Wallaahu a’lam bi ash-shawab, semoga Allah memberikan petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Amin []. Dari berbagai maraaji’ (referensi).

* Syabab HTI, Mu'allim Thibbun Nabawiy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar