Minggu, 07 Desember 2008

Sudah Benarkah ? Cara Kita Membaca وَلِلّهِ اَلْحَمْدُ

KAJIAN ILMU TAJWID

Cara Membaca وَلِلّهِ اَلْحَمْدُ

وَلِلّهِ اَلْحَمْدُ merupakan bagian dari lafazh yang sering kita kumandangkan ketika Hari Raya Idul Fitri atau Idul Adha. Takbir, tahmid dan tahlil tentu harus diucapkan dengan benar.

Allah SWT sungguh menurunkan Al-Quran lengkap dengan cara membacanya.

Waqaf Rauum, salah satu waqaf yang seringkali diabaikan masyarakat. Perlu bukti ? Mari kita muhaasabah diri kita masing-masing, sudahkah kita memahaminya ? Sehingga mengamalkannya ? Bukankah Allah SWT menurunkan Al-Quran lengkap dengan cara membacanya ? Alaysa kadzaalik ?

وَلِلّهِ اَلْحَمْدُ Lafazh ini jika di-waqafkan tergolong sebagai waqaf rauum, karena huruf terakhir yang disukunkan, diawali oleh huruf yang bersukun pula, sehingga seharusnya dibaca : wa lillaahil hamd, dengan huruf dal yang dibaca satu per tiga harakat sebagai isyarat. Tetapi, tidak jarang kita mendengar orang melafalkannya dengan huruf dalhilang dan huruf mimditasydidkan, huruf ha'(kecil) jadi Ha' (besar) sehingga maknanya sungguh melenceng jauh dari maksud yang sebenarnya.

Sabtu, 06 Desember 2008

Berobat dengan Alkohol

Untuk mendapatkan artikel tentang ini, bisa dengan meng-klik judul di atas atau :
http://khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view&id=212&Itemid=37

IMUNISASI BUKAN VAKSINASI !

Buletin BRC :: Kita semua mungkin berpandangan bahwa 'imunisasi' (baca : vaksinasi) adalah barang wajib. Bukan orang tua yang baik kalau tidak mengimunisasi anak secara lengkap. Selama ini masyarakat hanya mendapat informasi dari satu sisi yang cenderung sangat positif.

Di awal, saya sengaja menulis kata imunisasi dalam tanda kutip, untuk menegaskan perbedaan mendasar antara imunisasi dengan vaksinasi. Imunisasi adalah upaya merangsang penguatan sistem imunitas (kekebalan) tubuh. Sementara vaksinasi hanyalah salah satu usaha melakukan imunisasi dengan cara memasukan vaksn (kuman penyakit yang sudah dilemahkan) ke dalam tubuh.

Sebuah majalah terbit komunitas muslim di Amerika, Al Jumuah volume 14 mengupas masalah imunitas dari sudut pandang yang berbeda yang ditulis Dr. Aisha Hamdan. Segala hal positif yang selama ini dipahami masyarakat tentang imunisasi, dinyatakan Aisha adalah mitos. Aisha mengemukakan pandangannya itu dengan banyak data dan kasus. Australia termauk Negara yang tidak mewajibkan warganya imunisasi. Hanya setengah warga Australia yang mau menerima imunisasi, Kemungkinan sakit kelompok uyan menerima imunisasi dengan kelompok yang menolak imunisasi di tempat yang sama, tidak berbeda. Dalam kasus dipteri meski imunisasi berjalan, kasus dipteri di Prancis naik 30 persen, di Hungaria naik 55 persen, bahkan di Jenewa (Swiss), naik hingga tiga kali lipat. Belum lagi imunisasi pertusis (batuk rejan). Tingkat efektivitas imunisasi tersebut hanya 50 persen. Kasus yang terjadi di Kansas (Amerika) menunjukan 90 persen penderita batuk rejan adalah orang yang sudah diimunisasi pertusis.

Sebuah lembaga pengembangan sains di Inggris mencatat bahwa penyakit anak di Negara tersebut bisa mencapai 90 persen pada periode 1850-1940. Ini terjadi jauh sebelum imunisasi dikenalkan secara massal. Singkatnya imunisasi bukan perangkat yang lengkap untuk mengamankan anak balita. Sebaliknya, program tersebut justru menjadi bahaya tersendiri bagi balita.Pada tahun 1986, Kongres Amerika membuat The National Childhood Vaccine Injury Act (Peraturan untuk anak-anak korban imunisasi). Laporan itu diyakini belum mencerminkan kondisi nyata di negeri Paman Sam itu, Estimasi lapangan menyatakan bahwa sebenarnya, anak yang menjadi korban imunisasi bisa mencapai 120 ribu pertahun. Aturan soal imunisasi yang dibuat kongres mewajibkan Negara untuk membayar 25o ribu dolar AS kepada keluarga yang bayinya meninggal kerena pengaruh imunisasi. Sedangkan bayi yang mengalami gangguan otak karena imunisasi , harus dikompensasi dengan uang jutaaan dolar AS.

Pada 1997 dilaporkan Al Jumuah,lebih dari 802 juta dollar AS dana yang harus diberikan kepada para korban imunisasi bisa mencapai 1,7 miliar dolar. Lebih berbahaya lagi, ternyata dalam vaksin yang disuntikkan melalui imnisasi terkandung bahan-bahan kimia yang dampaknya bisa berbahaya, Pada dasarnya vaksn mengandung virus dan bakteri mati, komponen-komponen kuman, ekstrak racun atau organisme hidup yang keganasanyya telah dilemahkan. Untuk merangsang reaksi imun yang kuat terhadap organisme-organisme tersebut, pabrik obat menambahkan bahan-bahan perangsang kekebalan seperti squalene, alumunium, lipopolysachararide dll. yang disebut sebagai immune adjuvants.

Kombinasi dari adjuvant dengan orgasnisme yang bersangkutan memicu suatu respons imun (kekebalan) oleh tubuh, mirip seperti yang terjadi pada infeksi alami, kecuali satu perbedaan besar. Yaitu hampir tidak ada penyakit-penyakit tersebutt memasuki tubuh melalui injeksi. Umumnya masuk melalui selaput lender hidung, mulut, saluran napas, atau saluran cerna. Akibatnya , suntikan vaksin justru menghasilkan system imun yang abnormal.Celakanya lagi, immune adjuvants ini menimbulkan stimulasi dalam kurun waktu yang panjang, yang justru berpotensi menimbulkan kerusakan sel-sel tubuh. Belum lagi sampai saat ini bahan-bahan vaksin maupun proses produksinya belum bisa dijamin kehalalannya. Seperti dilansir majalah Suara Hidayatullah edisi September 2007 , seluruh vaksin yang beredar di dunia saat ini , termasuk vaksin miningtis yang diberikan kepada seliruh jemaah haji, menggunakan bahan haram dalam pembuatannya. Diantaranya enzim babi, ginjal kera, ginjal babi, hingga janin bayi hasil aborsi. (Masya Allah..)

Direktur Pemasaran PT Bio Farma, pabrik vaksin terbesar di Indonesia, Sarimuddin Sulaeman mengatakan, Bio Farma sebenarnya telah mengusahakan pengganti tripsin babi sejak tahun 2006. Namun penelitian ini memakan waktu setidaknya tiga tahun, hingga untuk sementara tripsin tersebut masih tetap digunakan.

Imunisasi Ala Islam

Islam telah mengajarkan agar ibu-ibu menyusui bayinya hingga 2 tahun penuh (Al Baqarah:233). Penelitian modern telah membuktikan bahwa ASI adalah makanan terbaik di dunia. Kandungan gizi di dalamnya sangat efektif untuk membantu tubuh membangun system imun yang optimal. Departemen Kesehatan Amerika Serikat menganjurkan ibu-ibu untuk memberikan ASI eksklisif hingga 6 bulan, sementara di Indonesia sendiri dianjurlan serupa hanya untuk 4 bulan, Rasulullah saw juga biasa melakukan tahnik pada bayi. Tahnik adalah mengunyah makanan hingga halus, biasa kurma, kemudian disuapkan kepada bayi,, Ini dijelaskan dalam hadits Bukhari-Muslim.Orang sering salah interpretasi mengenai tahnik ini, bahkan dicurigai sebagai sarana penularan penyakit dari orang tua kepada anak. Padahal ini justru sebuah upaya memperkenalkan bayi pada berbagai potensi penyakit dari luar. Betul bahwa orang tua sang bayi mungkin mengidap berbagai macam penyakit. Dan jangan lupa bahwa air liur juga bagian dari system imun kita. Nah, informasi (database) penyakit dalam air liur orang tua bersama kuman-kuman yang tentunya juga sudah lemah karena bercampur dengan air liur itulah yang masuk ke tubuh sang bayi melalui mekanisme alamiah (bukan suntikan). Dan ini memberikan stimulasi bagi tubuh bayi untuk mengupdate system imunnya.

Bekam sebagai Imunisasi Alamiah

Rasulullah telah mengajarkan bahwa salah satu dari tiga kunci kesehatan (asy Syifa’) adalah konsiste melakukan hijamah/ bekam. Menarik untuk dikaji, bahwa ternyata mekanisme kerja bekam sangat mirip dengan vaksinasi, dengan meninggalkan segala efek negatifnya.Bekam sebenarnya adalah usaha membuat kerusakan mikrosirkulasi yang disengaja. Tubuh akan berespon dengan mengawali munculnya peningkatan aktivitas system imun, baik yang berupa cairan (humoral) maupun yang berupa sel (seluler). Dengan perantara kimiawi seperi interleukin 1 dan 6 serta TNF alfa, system imun akan bekerja dan mempergiat proses perondaan, sehingga secara otomatis akan terjadi optimalisasi system imun.Berbeda dengan vaksinasi, imunisasi melaui bekam ini lebih universal, tidak spesifik pada satu atau beberapa penyakit saja. Artinya sekali melakukan bekam, imunitas akan dihasilkan untuk semua jenis penyakit. Meski imunitas spesifik juga dapat dihasilkan jika bekam dilakukan pada kondisi tertentu.Jika proses bekam ini dilakukan pada saat seseorang terkena atau terinfeksi virus, maka proses imun spesifik terhadap virus ini akan bekerja dengan lebih optimal. Jika seseorang menderita penyakit kanker. Maka system imun seluler yang bertugas untuk mengeliminir atau memusnahkan sel-sel kanker yang ganas akan bekerja pula dengan optimal. Jika proses bekam dilakukan pada seorang penderita penyakit jantung koroner, maka adanya faktor anti penggumpalan keping darah (trombosit) akan mengurangi resiko terjadinya penyumbatan pembuluh darah koroner. Menariknya lagi, stimulasi imunitas yang dihasilkan melalui mekanisme bekam bersifat temporer atau sementara. Ini sangat bermanfaat untuk mencegah hiperimunitas yang berpotensi menimbulkan kerusakan berlebihan pada sel-sel tubuh, seperti yang banyak terjadi “imunisasi” konvensional.Namun, hal ini juga menjadikan efektifitas bekam akan berkurang bila tidak dilakukan secara rutin. Oleh karenanya, Rasulullah pun menganjurkan agar bekam ini dilakukan sebulan sekali utnuk pencegahan berbagai macam penyakit. Apalagi jika didukung dengan konsumsi madu serta herbal-herbal berkhasiat obat yang juga banyak disabdakan Rasulullah saw. Ternyata, jika kita memahami bagaimana hidup sehat secara islam, tidak ada lagi buah simalakama. wallaahu a'lam

Source : Buletin BRC Bandung (Bekam Ruqyah Center Bandung)

Kamis, 04 Desember 2008

INFORMASI IDUL ADHA 1429 H

Bisa diunduh di alamat site :
http://hizbut-tahrir.or.id/2008/11/30/idul-adha-1429-h/

Rabu, 03 Desember 2008

Tausiyah Cinta u/k Kita

Penggugah yang mumtaaz.... dari mujahid dakwah ’amir para Mujaahidiin wal Mujaahidah... dakwah kiyanul fikr : haarisan aaminan lil Islaam Hizbut Tahriir..... Al-’Alim Asy-Syaikh Atha’ Abu Rusythah yang nb ulama ahli ushul fiqh....

Goncangan yang bertubi-tubi dari musuh-musuh Allah SWT dan Rasul SAW sedang mengepung kita, sementara jika mereka tidak bersama Allah di tengah malam dan di ujung waktu siang hari, bagaimana mungkin mereka bisa membuka jalan di tengah-tengah kesulitan? Bagaimana mungkin mereka bisa meraih apa yang mereka harapkan?”...

Islam memerlukan aktivis yang berkata dari hati sanubarinya apa yang dulu dikatakan sa’ad bin mu’adz R.a. kepada Rasul SAW saat perang Badar ”wahai Rasul SAW, silahkan kerjakan apa saja yang engkau inginkan kami bersamamu.......... ”

”islam menginginkan orang muslim yang berkata pada dirinya, ’adilkah aku istirahat enak-enak, sedang saudaraku kelelahan? Pantaskah aku tidur nyenyak, sementara saudara-saudaraku di tempat lain disiksa? Laikkah aku tidak ber’amal untuk islam, padahal sekarang kaum muslimin menjalani kehidupan berat dan perang melawan musuh”

”sesungguhnya 4wI mencela sikap lemah, karena itu kamu harus bertindak cerdas dan cekatan dan [setelah itu] kalau kamu dikalahkan oleh suatu urusan [tidak berhasil menghadapinya] katakanlah hasbiyallah” (HR.Abu Dawud)

Menjadi bahan muhaasabah bagi kita semua, pernyataan dari KH. Muhammad Al-Khaththat

Perjuangan dan pengorbanan. Itulah kehidupan umat Islam awal. Dan karena itulah umat Islam menjadi umat paling tangguh di dunia. Kita semuanya barangkali sepakat dengan semua itu. Kita semua barangkali kagum pada mereka itu. Kita semua selalu memuji-muji para shahabat Nabi. Kita juga mengucapkan selamat kepada mereka semua. Namun, sayangnya kita hanya memandang mereka dari jarak jauh, tanpa pernah bisa “mentransfer” seluruh semangat dan kekuatan mereka. Kita tetap larut dalam keasyikan kita pada berbagai keterlenaan dan keteledoran kita. Kita tetap terhanyut dalam berbagai suasana yang sangat jauh dari perjuangan. Kita salut melihat shahabat sebagai “energi” bagi dunia, sembari kita tetap sebagai “benalu” bagi dunia. Sementara di satu sisi, dalam keterlenaan itu, kita berharap Islam bangkit. Realistiskah? Penting kita bertanya-tanya, bisakah kita seperti mereka? Bisakah kita mewarisi semangat juang generasi teladan?

Al-mukarram al-ustaadz Hafizh ’Abd al-Rahmaan (DPP HTI) dalam salah satu bukunya menuliskan,

”seorang muslim yang mengemban pemikiran Islam tertentu akan berusaha terus-menerus melakukan kreasi (al-insyâ’) & pengembangan (al-irtiqâ’). Yang dimaksud dengan orang yang melakukan kreasi (al-insyâ’) ialah orang yang menghasilkan sesuatu yang baru, baik berbentuk pemikiran baru, solusi baru, penjelasan pemikiran lama, maupun implementasi pemikiran atau tidaknya terhadap realitas baru. Setelah menumbuhkan sesuatu yang baru, orang tersebut akan melakukan pengembangan (al-irtiqâ’). Dan orang yang melakukan pengembangan (al-irtiqâ’) ialah orang yang terus-menerus mendaki ke atas dengan bekal pemahaman, pengaruh pandangannya yang jelas serta kemampuannya dalam kehidupannya. Maka orang yang mengemban pemikiran tertentu, tentu tidak hanya mengembannya, tetapi juga akan berusaha menyebarkannya & terus-menerus berusaha melaksanakannya.

Seorang muslim yang muqaddam bi al-Islâm (pegang teguh al-Islâm) dan tentu mengemban pemikiran Islam, akan menjadi seorang pengemban dakwah. Pengemban dakwah ialah politikus yang mengurusi seluruh urusan manusia berdasarkan hukum syara’. Tujuannya mardlâtillâh. Mengaktualisasikan pemikiran & hukum bukan sebatas pengetahuan semata. Pemikiran yang diembannya senantiasa dikaitkan dengan realitas & konteksnya sebagai aktivitas politik & bukan sebagai pengetahuan belaka. Juga sebagai usaha mengurusi urusan tertentu yang bukan sekedar ma’lumat (pemberitahuan). Ketika politik merupakan aktivitas bukan hanya sekedar pengetahuan, maka yang sangat penting untuk kita lakukan ialah bukan sekedar melakukan diskusi secara akademis”

"Oleh sebab itu berilah peringatan, sesungguhnya peringatan itu akan berguna (bagi orang-orang yang mau berfikir), orang yang takut kepada Allah akan mengambil pelajaran, sementara orang-orang yang celaka, akan lari menjauh"

(QS. Al A’laa : 9-11)

Wa nahnu ‘alâ dzâlika minasy-syâhidiin, wasy-syâkiriina

wal hamdulillâhi rabbil ‘âlamiin !!!

BAI’AT

BAI’AT ADALAH SALAH SATU KEWAJIBAN TERAGUNG Kitab : Mafaahiim Islaamiyah, Menajamkan Pemahaman Islam, Kaatib : Muhammad Husain Abdullah Raiisu Tahriir : DKM MARLINA BUCHARI UNIVERSITAS NASIONAL PASIM
Rasulullah saw.bersabda:
“Siapa saja menarik diri dari ketaatan kepada Allah, maka ia akan bertemu pada hari kiamat dalam keadaan tidak memiliki hujjah. Dan Siapa saja mati sedang di pundaknya tidak ada bai’at , maka ia mati seperti mati jahiliyah”(HR. Muslim)
Dan bersabda:
”Siapa saja membeni sesuatu dari pimpinannya, maka bersabarlah karena sesungguhnya Siapa saja yang keluar dari penguasa walau hanya sejengkal, maka ia mati seperti mati jahiliyah” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dua hadits syariif diatas keduanya menjelaskan tempat kembalinya orang yang mati sedang pada pundaknya tidak ada bai’at kepada amir ’amm (pemimpin umum) yaitu khalifah. Karena sesungguhnya kepemimpinan khusus (imarah khashashah) itu hanya pada satu urusan dari urusan-urusan kehidupan, temporal dan hukumnya terkadang sunnah seperti kepemimpinan dalam perjalanan dan terkadang wajib seperti kepemimpinan dalam partai. Yang demikian ini sesuai dalil-dalil syara’ yang telah memberikan ketentuan atasnya. Sedangkan kepemimpinan umum, yaitu Khilafah, maka merupakan kepemimpinan untuk mengurusi semua urusan kehidupan, waktunya kontinu, tidak temporal. Yang demikian ini sesuai petunjuk al-Qur’an, Sunnah dan Ijma Sahabat. Sesungguhnya Allah yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana telah menuntut manusia agar melaksanakan kewajiban-kewajiban dengan tuntutan yang tegas dan Allah telah menjadikan diantara kewajiban-kewajiban itu perbedaan dalam keurgensiannya, Dalam mengingkari orang yang menyamakan antara sebagian kewajiban-kewajiban, Allah swt berfirman:
”Apakah (orang-orang) yang memberi minuman orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidilharam kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta bejihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.”(TQS .At Taubah: 19)”
Dan Rasulullah bersabda :
”Dan sesungguhnya tetapnya salah seorang diantara kalian pada barisan – yakni barisan perang— adalah lebih baik dari shalatnya selama enam puluh tahun” (HR. Ahmad dari Abi Umamah)
Allah swt benar-benar telah menjadikan untuk hukum wajib indikasi-indikasi yang beragam menunjukan atas tuntutan yang tegas untuk melaksanakan aktivitas. Termasuk indikasi- indikasi ini adalah terkena sanksi di dunia maupun di akhirat karena meninggalkan kewajiban, dan diantaranya lagi adalah terkena marah, laksnat atau murka allah dari meninggalkan kewajiban tersebut afa;aj indikasi-indikasi yang berbeda –beda dalam kekuatan sanksi juga macamnya. Semua itu menunjukan perbedaan dalam derajat-derajat kewajiban (manazilul wajibat) Sesungguhnya sanksi-sanksi yang telah dikenakan oleh islam atas orang-orang yang meninggalkan keajiban sangat berat dan membuat jera. Hanya saja sanksi yang telah ditetapkan oleh islam dari meninggalkan bai;at – yaitu metode mengakkan Khilafah— telah datang dengan bentuk sanksi yang istimewa baik lafad dan maknanya. Dan tidak ada yang menyamainya dalam bentuk lafazznya –sebats ilmuku—dalam hadist-hadist Rasulullah saw, sanksi tersebut adalah sabda Rasulullah saw:
Dan Siapa saja mati sedang di pundaknya tidak ada bai’at , maka ia mati seperti mati jahiliyah”(HR. Muslim)
Maka siapa saja mati dari kaum muslimin dalam keadaan meninggalkan kewajiban ini walaupun hanya sebentar sebelum matinya, maka matinya mati jahiliyah yakni mati seakan-akan kafir. Sedangkan orang yang kafir sebelum matinya, maka semua amalnya hangus sehingga tidak manfaat pada hari kiamat amal-amal yang telah didahulukannya seperti shalat, zakat, jihad dan lain-lain. Begitu pula orang muslim yang tidak beraktifitas untuk mewujudkan Khalifah bagi kaum muslimin atau meninggalkan aktivitas ini sebelum matinya agar ada bai’at pada lehernya kepada Khalifah ini, maka ia mati sebagaiamana orang kafir, walaupun pada hakikinya ia bukan orang kafir, tapi karena besar dosa yang dipikulnya karena meninggalkan perkara tersebut dan karena besarnya dosa yang dipikulnya karena meninggalkan aktivitas tersebut. Maka ia mati seperti orang kafir walaupun ia meyakini akidah islam dan walaupun ia mengikatkan diri dengan hukum-hukum islam. Karena ia mati sedang pada lehernya tidak ada bai’at kepada Khalifah secara syar’i serta ia mati dalam keadaan beraktivitas untuk mewujudkan kalifah ini. Kewajiban ini adalah diantara kewajiban-kewajiban yang paling wajib dan paling agung, sebab diatasnya bergantung penerapan mayoritas hukum-hukum syari’at seperti mengurusi berbagai urusan umat, menjaga batas-batas negara, menerapkan hukum–hukum, melaksanakan berbagai had dan mengemban risalah islam kepada seluruh manusia. Dan dengan tanpa adanya kewajiban ini umat islam tidak memiliki entitas politik dan tidak memilki kedudukan diantara umat-umat di dunia. Sesungguhnya apa yang menimpa kaum muslimin pada saat ini sepeeti tercabik-cabik lemah, hina dina, dan seperti ketundukannya kepada kekuatan kufur dan kesewenang-wenangan tiada lain kecuali sebagai akibat tidak adanya Khalifah bagi kaum muslimin yang mengurusi urusan-urusan mereka dengan islam dalam satu negara di bawah panji ”Lailahaillallah Muhammad Rasulullah” Lafadz ”baiat ”apabila disebut dengan tanpa indikasi menunjukan bai’at syar’i, khusus kepada Khalifah atau pemimpin kaum muslimin atau imam. Lafadz baia’at ini benar-benar telah datang dengan makna seperti ini dala hadits-hsdits nabawi yang lain. Rasulullah saw. Bersabda:
”Dan laki-laki yang telah membai’at imam, ia telah memberikan uluran tangan dan buah hatinya kepada imam..”
dan bersabda:
”Apabila telah di bai’at dua orang khalifah, maka bunuhlah khalifah yang terakhir dari keduanya”
juga sabdanya:
”Akan ada para Khalifah lalu menjadi banyak,”sahabat berkata : Lalu apa yang tuan perintahkan untuk kami? , Nabi menjawab : ”Tepatilah bai’at kepada khalifah pertama maka Khalifah yang pertama”
Hadits-hadits ini menunjukan dengan sangat jelas dan gamblang bahwa sesungguhnya bai’at yang wajib hanyalah kepada Khalifah, karena bai’at ini menjadi metode syar’i yang telah ditentukan Allah selaku pembuat syara’ untuk mengangkat Khalifah. Sedangkan mengangkat selain Khalifah seperti amir (pemimpin) partai atau jamaah amir perjalanan, amir delegasi, amir salah satu urusan-urusan kehidupan, maka semuanya tidak dengan bai’at syar’i yaitu baiat khusus untuk mengangkat Khalifah, akan tetapi hnaya dengan mengangkatnya menjadi amir atas merea tanpa bai’at.
”Apabila mereka bertiga dalam perjalanan, maka mereka harus menjadikan salah seorang diantara mereka sebagai amir mereka.”
Sedangkan bai’at kaum wanita atau bai’at perang dalam baiat ’Aqabah kedua atau bai’atur Ridhwan di bawah pohon sebagaimana telah disebutkan dalam nash- nash syara’ yang sahih dan dijadikan hujjah oleh orang-orang yang mengatakan bahwa bai’at dilakukan kepada setiap amir, maka sesungguhnya yang dimaksud adalah makna lughowi wadh’iy untuk lafadz baiat, yaitu ijab qobul diantara dua pihak dalam perkara tertentu selain Khilafah. Dan bai’at tersebut berarti saling berjanji dan mengikatkan diri dengan perkara yang ditentukan dari dua belah pihak. Semuanya telah ditunjukkan oleh susunan (siyaaq) yang disebutkan dalam nash dan indikasi-indikasi yang menyertainya. Allah swt berfirman:
Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah” (QS. Al Mumtahanah :12)
maka maknanya adalah mereka berjanji setia kepadamu, Dan firmanNya:
” Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)” (QS. Al Fath: 18)
Juga maknanya adalah mereka berjanji setia kepafamu untuk memerangi orang Quraisy. Dan dalam siroh Ibnu Hisyam telah datang:
”Kami berjanji kepada Rasulullah saw dengan janji perang..dan diantara janjiitu sesunggunya kami mengambilnya atas musibah harta benda dan dibunuhnya orang-orang mulia..”
Maka lafadz bai’at itu bermakna sesungguhnya sahabat Anshar dari suku Aus dan Khaozroj telah saling berjanji untuk menolong Rasulullah saw dalam membangun negara di Madinah apabila nabi datang kepada mereka, mereka akan berkorban dengan harta dan benda dan jiwa mereka dalam merealisasikan tujuan tersebut, yaitu membanngun Negara Islam. Dan apabila lafadz bai’at disebut tanpa ada indikasi, maka menunjukan makna syara’, hanya itu, yaitu metode tertentu untuk mengangkat Khalifah. Dan siapa saja yang memakai metode bai’at syar’i untuk mengangkat amir selain Khalifah seperti amir partai atau amir perjalanan, maka ia benar-benar telah menyalahi syara’ dari satu sisi. Dan dari sisi lain sesungguhnya bai’at untuk mengangkat amir selain Khalifah tidak mencukupi (menggugurkan) bai’at syar’i yang telah disebutkan dalam sabda Rasulullah saw:
"Dan Siapa saja mati sedang di pundaknya tidak ada bai’at , maka ia mati seperti mati jahiliyah”
Sesungguhnya orang yang menyadari sabda Nabi saw:
"Dan Siapa saja mati sedang di pundaknya tidak ada bai’at , maka ia mati seperti mati jahiliyah”
Maka jiwanya tidak akan pernah damai dan hatinya tidakakan pernah tenang apabila ia belum beraktivitas untuk merealisasikan kewajiban ini. Walaupun ia telah mengikatkan diri dengan islam, karena ia memahami bahwa puasanya, shalatnya shilaturahimnya dan lain-lainnya semuanya tidak bisa menolak mati jahiliyah ini. Selagi Khalifah ini belum ada untuk membai’atnya agar memerintah dengan Kitab dan Sunnah maka ia harus beraktivitas melalui metode syar’i untuk mewujudkan Khalifah ini, Karena sesuatu yang wajib , yaitu bai’at syar’i tidak bisa sempurna kecuali dengan adanya Khalifah. Kaidah syar’a menegaskan:
”suatu dimana perkara wajib tidak bisa sempurna kecuali dengannya, maka sesuatu itu hukumnya wajib”
Maka apabila orang muslim meninggal dunia sedang ia sedang beraktivitas untuk mewujudkan Khalifah dengan metode syar’i, maka ia benar-benar telah melaksanakan seuatu yang telah diwajibkan Allah atasnya dan gugur darinya dosa akibat tidak adanya bai’at dan ia telah keluar dari keumuman sabda Nabi saw:
Dan Siapa saja mati sedang di pundaknya tidak ada bai’at , maka ia mati seperti mati jahiliyah”(HR. Muslim
Karena ia mati dalam keadaan terlibat dengan aktivitas untuk merealisasikan pembai’atannya kepada Khalifah. Sesungguhnya siapa saja yang menyadari makna hadist ini dari para pengemban dakwah yang sedang beraktivitas untuk mengembalikan negara khilafah, agar senantiasa bersemangat pada aktivitasnya dan teguh pada metode yang akan merealissasikan kewajiban tersebut dan ia akan terus melibatkan diri dengan aktivitas ini sampai akhir nyawa dari kehidupannya agar tidak mati seperti mati jahiliyah. amiiiin... Alhamdulillah...

Wanita Haid Diam di Masjid ?

WANITA HAID DIAM DI MASJID ?

:: Raiisu Tahriir : DIVISI KEROHANIAN PUB ’07/’08 ::

:: Kaatib : KH. Muhammad Shiddiq al-Jawi (+) akh Irfan Ramadhan ::

Ref : dari berbagai maraaji'

  1. BAGAIMANA HUKUM WANITA HAID BERDIAM DIRI DI MASJID ?

Jumhur atau sebagian besar ulama, di antaranya imam madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali), sepakat bahwa wanita yang haid tidak boleh berdiam (al-lubts) di dalam masjid, karena ada hadits Rasul SAW yang mengharamkannya (Muhammad bin Abdurrahman, Rohmatul Ummah fi Ikhtilaf Al-A`immah, hal. 17). Tapi ada juga ulama yang berpendapat membolehkannya, diantaranya Imam Dawud Azh-Zhahiri membolehkan wanita haid dan orang junub berdiam di masjid. (Lihat Ash-Shan’ani, Subulus Salam, I/92). Namun pendapat yang kuat (rajih berdasarkan kekuatan hujah, dalilnya) adalah pendapat jumhur yang mengharamkannya. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW :

“Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita yang haid dan orang junub.” (HR. Abu Dawud). (Hadits ini shahih menurut Ibnu Khuzaimah. Lihat Subulus Salam, I/92. Menurut Ibn al-Qaththan, hadits ini hasan, Kifayatul Akhyar, I/80)

  1. APA ITU BERDIAM DIRI DI MASJID ?

Yang dimaksud berdiam (Arab : al-lubtsu, atau al-muktsu) artinya berdiam atau tinggal di masjid, misalnya duduk untuk mengisi atau mendengarkan pengajian, atau tidur di dalam masjid. Tidak ada bedanya apakah duduk atau berdiri. Berjalan mondar-mandir (at-taraddud) di dalam masjid, juga tidak dibolehkan bagi wanita haid (Taqiyuddin Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, I/80).

  1. BAGAIMANA HUKUMNYA JIKA SEBATAS MELINTAS (AL-MURUR) SAJA ?

Adapun jika seorang wanita haid sekedar lewat atau melintas (al-murur) di dalam masjid karena suatu keperluan, maka itu tidak apa-apa. Dengan catatan wanita itu tidak merasa khawatir akan mengotori masjid. (Lihat As-Suyuthi, “Al-Qaul fi Ahkam Al-Masajid”, Al-Asybah wa An-Nazha`ir, hal. 241, dan “Bab Al-Haidh”, Al-Asybah wa An-Nazha`ir, hal. 247; As-Sayid A’lawi, Bughyatul Mustarsyidin, hal. 14). Dalilnya, Nabi SAW pernah memerintah ‘A`isyah untuk membawa khumrah (semacam sajadah) yang ada di masjid. Lalu ‘Aisyah ra berkata, “Sesungguhnya aku sedang haid.” Rasul bersabda,”Sesungguhnya haidhmu itu bukan berada di tanganmu.” (HR. Muslim) (Lihat Dr. Mustopha Diibul Bigha, Fiqih Syafi’i (At-Tahdzib), hal. 76; M. Shalih Al-Utsaimin, Al-Fatawa An-Nisa`iyah (Fatwa-Fatwa Tentang Wanita), hal. 44). Selain itu, ada riwayat lain bahwa Maimunah ra pernah berkata,”Salah seorang dari kami pernah membawa sajadah ke masjid lalu membentangkannya, padahal dia sedang haidh.” (HR. An-Nasa`i)(Lihat Dr. Mustopha Diibul Bigha, Fiqih Syafi’i (At-Tahdzib), hal. 77)

  1. SEBENARNYA YANG DIMAKSUD MASJID ITU APA ? BATASAN/DEFINISINYA !

Definisi umum masjid, definisi yang membedakan masjid dengan bangunan yang bukan masjid. Masjid adalah tempat yang ditetapkan untuk mendirikan shalat jamaah bagi orang umum (Lihat Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Sholat, hal. 274-275; Koleksi Hadits-Hadits Hukum, III/368; Ibrahim Anis dkk, Al-Mu’jam Al-Wasith, hal. 416.)

Ada definisi khusus, yaitu masjid dalam pengertian tempat-tempat yang digunakan untuk shalat (mawadhi’ ash-shalat), atau tempat-tempat yang digunakan untuk sujud (mawadhi’ as-sujud) (Lihat Ash-Shan’ani, Subulus Salam I/92 & 152). Dari dua jenis definisi di atas, maka saya -Irfan-, memahami bahwa Masjid Marlina Buchari UNAS PASIM merupakan sebenar-benarnya masjid. Mohon maaf, hal ini saya utarakan untuk membantah pihak yang memahami bahwa Masjid Marlina Buchari itu bukan masjid dalam arti sebenar-benarnya. Saya khawatir kesalahan mendefinisikan tentang masjid, berimplikasi terhadap kesalahan mengamalkan hukum-hukum seputar masjid.

  1. SHALAT JAMA’AH YANG SEPERTI APA ?

Yang dimaksud shalat jamaah, terutama adalah shalat jamaah lima waktu dan shalat Jumat. Namun termasuk juga shalat jamaah sunnah seperti shalat Tarawih dan shalat Idul Fitri atau Idul adha. Di Indonesia, jika hanya untuk berjamaah lima waktu tetapi tidak digunakan shalat Jumat, tempat itu biasanya tidak disebut masjid, tapi disebut musholla, atau nama yang semisalnya, yaitu langgar (Jawa), surau (Sumatera Barat), atau meunasah (Aceh). Sedang istilah masjid atau masjid jami`, biasanya digunakan untuk tempat yang dipakai shalat Jumat. Sebenarnya, semua itu termasuk kategori masjid, menurut definisi di atas. Karena yang penting tempat itu digunakan shalat berjamaah untuk orang umum. Maka, terhadap musholla, atau langgar, surau, atau meunasah, diberlakukan juga hukum-hukum untuk masjid, misalnya wanita haid tidak boleh berdiam di dalamnya. Walaupun tidak dinamakan masjid.

  1. KALAU TEMPAT SHALAT DI RUMAH ? APAKAH SAMA DENGAN MASJID ?

Jika sebuah tempat disiapkan untuk shalat jamaah, tapi hanya untuk orang tertentu (misal penghuni suatu rumah), salah seorang guru saya, KH. Muhammad Shiddiq al-Jawi (pimpinan Ma’had Taqiyuddin-Yogyakarta, Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI) berpendapat bahwa tempat itu tidak dinamakan masjid, dan tidak diterapkan hukum-hukum masjid padanya. Demikian pula jika sebuah tempat hanya digunakan untuk shalat secara sendiri, bukan untuk shalat jamaah, maka itu juga bukan dinamakan masjid.

  1. KALAU RUANG SEKRETARIAT, RUANG RAPAT, TOKO, DAN TERAS MASJID, APAKAH DIHUKUMI SAMA SEPERTI MASJID ?

Definisi khusus masjid ; masjid merupakan tempat-tempat yang digunakan untuk shalat (mawadhi’ ash-shalat), atau tempat-tempat yang digunakan untuk sujud (mawadhi’ as-sujud) (Lihat Ash-Shan’ani, Subulus Salam I/92 & 152)

Definisi khusus di atas, membedakan berlakunya hukum masjid bagi sebuah kompleks bangunan masjid yang luas dan terdiri dari beberapa bangunan atau ruang untuk berbagai keperluan. Sebab adakalanya sebuah kompleks masjid itu memiliki banyak ruangan, atau mungkin mempunyai dua lantai, mempunyai kamar khusus untuk penjaga masjid, mempunyai ruang sidang/rapat, toko, teras, tempat parkir, dan sebagainya. Bahkan ada masjid yang lantai dasarnya kadang digunakan untuk acara resepsi pernikahan, pameran, dan sebagainya. Apakah semua ruangan itu disebut masjid dan berlaku hukum-hukum masjid? Menurut pemahaman kami, jawabnya tidak. Dalam keadaan ini, berlakulah definisi khusus masjid, yaitu masjid sebagai mawadhi` ash-sholat (tempat-tempat sholat) (Lihat Ash-Shan’ani, Subulus Salam I/92 & 152) Maka dari itu, teras masjid bukanlah masjid, jika teras itu memang tidak digunakan untuk shalat jamaah. Jika digunakan shalat jamaah, termasuk masjid. Demikian pula bagian masjid yang lain, misalnya ruang sidang, ruang rapat, kamar penjaga masjid, tempat parkir, dan sebagainya. Semuanya bukan masjid jika tidak digunakan untuk shalat jamaah. Ringkasnya, semua tempat atau ruang yang tidak digunakan shalat jamaah, tidak dinamakan masjid, meski pun merupakan bagian dari keseluruhan bangunan masjid. Bagaimana andaikata suatu tempat di masjid (misalkan teras) kadang digunakan shalat jamaah dan kadang tidak? Jawabannya adalah sebagai berikut. Yang menjadi patokan adalah apakah suatu tempat itu lebih sering dipakai shalat jamaah, atau lebih sering tidak dipakai untuk shalat jamaah. Jika lebih sering dipakai shalat jamaah, maka dihukumi masjid. Jika lebih sering tidak dipakai, maka tidak dianggap masjid.

Yang demikian itu bertolak dari suatu prinsip bahwa hukum syara’ itu didasarkan pada dugaan kuat (ghalabatuzh zhann). Dan dugaan kuat itu dapat disimpulkan dari kenyataan yang lebih banyak/dominan (aghlabiyah). Ini sebagaimana metode para fuqaha ketika menetapkan pensyariatan Musaqah (akad menyirami pohon) --bukan Muzara’ah (akad bagi hasil pertanian)-- di tanah Khaybar. Mengapa? Karena tanah di Khaybar (sebelah utara Madinah) pada masa Nabi SAW sebagian besarnya adalah tanah-tanah yang berpohon kurma. Sedang di sela-sela pohon kurma itu, yang luasnya lebih sedikit, ada tanah-tanah kosong yang bisa ditanami gandum. Hal ini bisa diketahui dari riwayat Ibn Umar, bahwa hasil pertanian Khaybar yang diberikan Nabi kepada para isteri beliau, jumlahnya 100 wasaq, terdiri 80 wasaq buah kurma dan 20 wasaq gandum (HR. Bukhari) (Lihat Taqiyuddin An-Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, hal. 319). Karena yang lebih banyak adalah hasil kurma, bukan gandum, maka akad yang ada di Khaybar sesungguhnya adalah Musaqah, bukan Muzara`ah. Penjelasan di atas menunjukkan contoh kasus bahwa hukum syara’ itu dapat didasarkan pada kenyataan yang lebih banyak (aghlabiyah). Maka dari itu, ketika kita menghadapi fakta adanya teras masjid yang kadang dipakai shalat dan kadang tidak dipakai shalat jamaah, kita harus melihat dulu, manakah yang aghlabiyah (yang lebih banyak/sering). Jika lebih sering dipakai shalat jamaah, maka teras itu dihukumi masjid. Dan jika lebih sering tidak dipakai shalat jamaah, maka teras itu dianggap bukan masjid.

BAGAIMANA DENGAN PENDAPAT YANG MEMBOLEHKANNYA ?

Memang ada juga ulama yang membolehkan wanita haid berdiam di masjid asalkan ia merasa aman (tidak khawatir) mengotori masjid, misalnya dengan memakai pembalut (Taqiyuddin Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, I/78). Dalam Syarah Al-Bajuri Juz I hal. 115 dikatakan, bahwa kalau wanita haid tidak khawatir akan mengotori masjid, atau bahkan merasa aman, maka pada saat itu tidak diharamkan baginya masuk masjid, tetapi hanya makruh saja (KH. Moch Anwar, 100 Masail Fiqhiyah : Mengupas Masalah Agama yang Pelik dan Aktual, hal. 51)

Guru saya, KH. Muhammad Shiddiq al-Jawi (Ma’had Taqiyuddin-Yogyakarta, Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI) menjelaskan bahwa, pendapat itu tidak dapat diterima. Sebab pendapat tersebut tidak mempunyai landasan syar’i yang kuat. Pendapat tersebut menjadikan “kekhawatiran mengotori masjid”, sebagai ’illat (alasan penetapan hukum) bagi haramnya wanita berdiam di masjid. Jadi, jika kekhawatiran itu sudah lenyap (misalnya dengan memakai pembalut), maka hukumnya tidak haram lagi. Padahal,

1. Hadits yang ada tidak menunjukkan adanya illat bagi haramnya wanita haid untuk berdiam di masjid. Jadi tidak dapat dikatakan bahwa keharamannya dikarenakan ada kekhawatiran akan menajiskan masjid. Sehingga jika kekhawatiran itu lenyap (dengan memakai pembalut) maka hukumnya tidak haram. Tidak bisa dikatakan demikian, karena nash yang ada tidak menunjukkan adanya illat itu. Nabi SAW hanya mengatakan, “Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita yang haid dan orang junub.” Nash ini jelas tidak menunjukkan adanya illat apa pun, baik illat secara sharahah (jelas), dalalah (penunjukan), istinbath, atau qiyas. Di sisi lain, sebagaimana penjelasan al-’allamah asy-syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab Mafaahiim Hizb at-Tahriir,illat yang sah adalah ’illat syar’iyyah yaitu yang berdasarkan kepada nash syara’ yang diambil dari Al-Quran dan As-Sunnah, karena hanya Al-Quran dan As-Sunnah yang manjadi nash-nash syara’. Karena itu ’illat yang menjadi dasar hukum syara’ harus ’illat syar’iyyah, bukan ’illat ’aqliyyah (akal).

2. Sejauh yang saya pahami, al-’allamah asy-syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab Mafaahiim Hizb at-Tahriir, menjelaskan bahwa, ’hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan ibadah, akhlak, makanan, dan pakaian tidak boleh dicari-cari ’illatnya’. Sedangkan hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan mu’amalat dan ’uqubah (persanksian) dikaitkan berdasarkan ’illatnya, karena hukum syara’ dalam hal ini didasarkan pada suatu ’illat yang melatarbelakangi adanya hukum’. ’illat syar’iyyah adalah apa yang tercantum dalam nash syara’, yang harus terikat dengan nash dan terbatas pada penunjukkan maknanya. Dalam hal ini, nash syara’ tidak pernah menunjukkan bahwa mendatangkan mashlahat dan menolak mafsadat sebagai ’illat. Jadi ’illat syar’iyyah adalah apa yang telah tercantum di dalam nash, dan bukan didasarkan pada sesuatu yang mendatangkan maslahat atau menolak mafsadat’.

3. Lagi pula nash tersebut bersifat mutlaq, bukan muqayyad. Jadi yang diharamkan berdiam di masjid adalah wanita haid, secara mutlak. Baik wanita haid itu dapat mengotori masjid, atau tidak. Memakai pembalut atau tidak. Jadi, selama tidak ada dalil yang memberikan taqyid (batasan atau sifat tertentu) --misalnya yang diharamkan hanya wanita haid yang dapat mengotori masjid— maka dalil hadits tersebut tetap berlaku untuk setiap wanita haid secara mutlak. Hal ini sesuai kaidah ushul fiqh :

Al-muthlaqu yajriy ‘ala ithlaaqihi maa lam yarid daliil at-taqyiid’

“[Lafazh] mutlak tetap berlaku dalam kemutlakannya selama tidak ada dalil yang menunjukkan adanya taqyid (pemberian batasan/sifat tertentu).” (Lihat Wahbah Az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqh Al-Islami, I/208; Imam Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul, hal. 164)

Wallaahu a’lam bi ash-shawaab [ ]

Selasa, 02 Desember 2008

FORSIKALIKA

DKM UNAS PASIM – KAMI UNIV.WIDYATAMA - UKDM UPI
UKM ROHIS & KEPUTRIAN ASY-SYIFA UNAS PASIM – FORMAIS STIE EKUITAS - KAMMI UNISBA

:: Kaatib : Ikhwan Al-Faqiir ilaa Allaah Irfan Rumi Ramadhan :: [Ketua DKM Marlina Buchari UNAS PASIM JABAR, Ketua FORSIKALIKA I a.n. FORSIKALIKA I]

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 111 : ‏ الإِسراء والصلاة والسلام على سيد المرسلين، وامام المتقين وعلى آله وصحبه، ومن دعا بدعوته، والتزم بطريقته، وترسّم خطاه، وجعل العقيدة الاسلاميت اساسًا لفكرته، والأحكام الشرعية مقيا سًا لأعماله، ومسدراً لأحكامه، وبعد
‏‏وَقُلِ الحَمْد لِلَّهِ الَّذي لَمْ يَتَّخِذْ وَلَداً‏ ‏
Alhamdulillaahil qa il :
(25). Berkata Musa: "Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, (26). Dan mudahkanlah untukku urusanku, (27). Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku,
(28). Supaya mereka mengerti perkataanku,
Saudara-saudari fillaah rahimakumullaah…. Ba’da hamdalah & shalawat…. Tak kenal maka ta’aruf,
Sedikit akan saya jelaskan tentang FORSIKALIKA, karena kedudukan saya dalam kesempatan ini yang diamanahi sebagai ketua FORSIKALIKA I, dalam rangka mensosialisasikan FORSIKALIKA kepada saudara-saudari fillaah rahimakumullaah….
LATAR BELAKANG HADIRNYA FORSIKALIKA Saudara-saudari fillaah rahimakumullaah….
”Ada asap, karena ada api” & ”ada reaksi karena ada aksi”
FORSIKALIKA, Forum Silaturahmi & Kajian Lintas Kampus, kehadirannya dilatarbelakangi oleh pemahaman (mafhuum) terhadap Kalam Allah yang Mulia (Al-Quran Al-Kariim), Ash-Shaff ayat 4,
“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang rapi (teratur) seakan-akan mereka seperti suatu bangunan
yang tersusun kokoh”. (QS. Ash-Shaff : 4)
Dan qishah keteguhan, keberanian, keyakinan para agen misi, pejuang Islam pada masa Rasulullah saw yang sudah seharusnya dimiliki oleh para aktivis pergerakan-pergerakan atau organisasi-organisasi Islam level kampus. Rab’i bin Amir, Hudzaifah bin Mihshin, dan Mughirah bin Syu‘bah pernah bertanya-jawab dengan Jenderal Rustum secara bergantian pada hari yang berbeda ketika Perang Qadisiyah. Rustum bertanya, “Apa yang menyebabkan kalian datang ke sini ?” Mereka menjawab, “Allâh telah mengutus kami untuk membebaskan siapa saja—yang mau—dari penghambaan kepada hamba menuju penghambaan hanya kepada Allâh semata, dari kesempitan dunia menuju keluasannya, dan dari kelaliman agama-agama selain Islâm menuju keadilan Islâm....” (Târîkh at-Thabarî, II/401, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut.1407 dalam sebuah sumber)/(Ma‘âlim fî Tharîq hlm. 75 dalam sebuah sumber) Saudara-saudari fillaah rahimakumullaah…. Alhamdulillaahi ‘alaa kulli haal, diakui atau tidak, realitanya..... para mahasiswa/i yang aktif dalam pergerakan-pergerakan atau organisasi-organisasi Islam level kampus, saat ini seringkali dipercaya memiliki tsaqafah (wawasan) ke-Islaman yang mantap (al-raasikh fii al-’ilm (mendalam ilmunya)), dipercaya mampu mewarnai atmosfir kampus dengan Islam, sehingga tidak jarang menjadi ‘tempat’ diskusi, konsultasi, atau sharing berbagai elemen civitas academica di kampus, khususnya ketika menghadapi isu/permasalahan umat yang kontroversial. Di sisi lain, tentu ironis dan jadi masalah jika harapan tidak berbanding lurus dengan kenyataan. Padahal tentu, sudah kita pahami bersama bahwa mewujudkan, merealisasikan harapan mulia tersebut merupakan salah satu PR bagi kita semua, khususnya bagi para aktivis pergerakan Islam level kampus itu sendiri. Para mahasiswa/i yang memahami betul realita fakta dan akar permasalahan, dan solusi solutif persepektif Islam (min wijhah al-nazhr al-Islaam), itu semua berproses, ada kausalitas, thalaab al-‘ilm
Al-‘Allamah Al-Imam Malik ra (mujahid ilmu) menasihati Khalifah pada masanya (kalau tidak salah Khalifah Harun al-Rasyid), bahwa kitalah yang mencari ilmu, bukan ilmu yang mencari kita. Dengan kata lain, ada proses kausalitas, thalabul ‘ilm. Saya teringat dengan tausiyah salah seorang ikhwah (kurang lebih) ‘seseorang yang jadi ahli ilmu itu senantiasa senang dengan ilmu, tidak jenuh meskipun ia telah mengetahui, mendengar ilmu tsb. berkali-kali’.
Alhamdulillaahil qaa’il,
“...Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.....”
(QS. Al-Ra’d : 11)
Lafaz anfus yang merupakan jamak dari lafaz nafs, dalam bahasa Arab adalah lafaz musytarak (sama dengan lafaz bai’at), yakni lafaz yang memiliki banyak makna (sudah banyak para ulama yang menjelaskannya, ulama ahli bahasa, ulama ushul fiqh, -). Lafaz maa bi anfusihim dalam konteks ayat tersebut lebih tepat jika diartikan dengan “sesuatu yang ada di dalam pikiran mereka” atau “pemahaman mereka”. Saudara-saudari fillaah rahimakumullaah…. Ini ialah sunnatullah yang telah ditetapkan Allah pada diri manusia, bahwa PERUBAHAN harus dimulai dari berubahnya pandangan (pemahaman). Dari sinilah, dituntut usaha, upaya untuk meluruskan kepribadian dari kepribadian yang warna-warni menjadi kepribadian yang khas, unik dengan membentuk mafhuum yang dibangun berdasarkan kaidah Islam. Mafhuum inilah yang akan membentuk ‘aqliyyah dan nafsiyyah-nya. Ini ialah PR untuk kita upayakan bersama. Saudara-saudari fillaah rahimakumullaah…. Sampai detik ini, pemahaman-pemahaman sesat menyesatkan seperti SEPILIS (sekularisme, pluralisme, liberalisme), derivat-derivatnya, dan pemahaman-pemahaman sesat lainnya, begitu gencar di’dakwahkan’ oleh para pengembannya ke seluruh elemen masyarakat, terlebih lagi elemen kampus dengan mahasiswa/i-nya yang dipercaya, diamanahi sebagai agent of change. Agent of change ? Ya ! Yang tentu potensial bisa menjadi agent of change bagi perubahan ke arah Islam atau sebaliknya. Ini ialah PR kita semua. Sehingga, kehadiran sebuah forum silaturahmi dan kajian lintas kampus (FORSIKALIKA) yang secara fungsional mewadahi pergerakan-pergerakan atau organisasi-organisasi ke-Islaman level kampus, memang diperlukan dan tentu dengan orientasi mewujudkan tujuan-tujuan fungsionalnya. Disisi lain, menghadapi gencarnya arus pemahaman-pemahaman yang menyerang Islam, sudah seharusnya pergerakan-pergerakan atau organisasi-organisasi ke-Islaman level kampus membangun kekuatan, memfungsikan organisasinya ; • Tashfiyah al-Afkaar al-Islaamiyyah (memurnikan pemikiran-pemikiran Islam), • Tansiq al-Haraakah al-Islaamiyyah fil Madrasah (membangun koordinasi antarpergerakan/antarorganisasi Islam level kampus). TUJUAN FUNGSIONAL FORSIKALIKA • Bersama-sama membangun kesadaran terhadap Islam ; mempelajarinya, memahaminya, mengamalkannya, mendakwahkannya, melakukan aktivitas Tashfiyah al-Afkaar al-Islaamiyyah (memurnikan pemikiran-pemikiran Islam), khususnya antarorganisasi ke-Islaman level kampus.
Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, Maka putusannya (terserah) kepada Allah. (yang mempunyai sifat-sifat demikian) Itulah Allah Tuhanku. kepada-Nya lah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali. (QS. Asy-Syuura : 10) Diriwayatkan ada sebuah hadits, Al-Islaama ya’lu wa laa yu’la ‘alaih “Islam itu tinggi dan tiada yang lebih tinggi daripada Islam”
Menyampaikan kritikan yang mengandung kebenaran, “Orang yang tidak mau berbicara tentang kebenaran adalah syaithan bisu” (HR. Abu ‘Ali Al-Daqqaq) Sayyidina Umar bin Al-Khaththab diriwayatkan berkata -kurang lebih- “Agama & kebaikan apakah yang dimiliki oleh seseorang jika ia melihat hukum - hukum Allah dilanggar, sunnah - sunnah Rasul diabaikan, hatinya dingin, lidahnya bisu seperti bisu…” Syaikhuna Nawawi Al-Bantani (nb : Ulama Banten yang terkenal mendunia), dalam Qaami’ al-Thughyaan ‘alaa Mandhuumati Syu’aab al-Iiman menjelaskan bahwa menyebarkan ilmu syari’at termasuk diantara 77 cabang keimanan. Syaikhuna Abdul Qadir Jailani (Al-Fath ar-Rabbani wa Faydh ar-Rahmani) ; Hancurnya agama anda karena 4 hal, “tidak mengamalkan apa yang diketahui, anda mengamalkan apa yang anda tidak ketahui, anda tidak mencari tahu apa yang anda tidak ketahui, anda menolak orang yang mengajari anda apa yang tidak anda ketahui.” Dan tidak salah apa yang dinyatakan oleh al-‘Allamah al-Syaikh Taqiyu ad-Din An-Nabhani dalam kitab-kitabnya bahwa tingkah laku (suluk) seseorang itu dipengaruhi oleh pemahamannya (mafhuum. mafaahiim) • Bersama-sama memperluas dan mempererat jaringan shilah al-rahiim, shilah al-ukhuwah, shilah al-fikr, shilah al-tsaqafi, menyatukan kekuatan, mewujudkan persaudaraan yang kokoh khususnya antarorganisasi ke-Islaman level kampus.

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللّهَ وَرَسُولَهُ أُوْلَـئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللّهُ إِنَّ اللّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Dan orang-orang yang beriman laki laki dan perempuan, mereka satu sama lain saling memimpin. Mereka menyuruh berbuat yang baik, melarang mengerjakan yang salah mereka tetap mengerjakan shalat memberi zakat dan mereka patuh pada Allah dan Rasul Nya. Itulah orang –orang yang akan diberikan rahmat oleh Allah sesunguhnya Allah maha perkasa dan Bijaksana (QS. At-Taubah: 71)

Pada ayat tersebut Allah telah menjelaskan sifat orang orang yang beriman, sifat itu bertentangan secara diametral dengan sifat orang-orang munafiq. Orang-orang mu’min menjadi auliya’ (penolong) bagi mu’min yang lainnya. Disini kata auliya berasal dari kata walayah yang artinya saling menolong.
“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang rapi (teratur) seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh”. (QS. Ash-Shaff : 4) ”..... Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya”. (QS. Al-Maidah : 2)

مثل المؤمنين في توادهم وتراحمهم وتعاطفهم مثل الجسد إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالسهر والحمى

“Perumpamaan kaum muslimin dalam rasa kasih sayang adalah ibarat tubuh yang satu, apabila ada bagian tubuh yang sakit maka meradanglah bagian tubuh yang lain sehingga terasa demam dan susah tidur.” (Muttafaq ‘alaih)

لمؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضا

“Seorang mukmin dengan mukmin yang lain adalah ibarat bangunan yang saling menguatkan antara yang satu dengan yang lainnya, kemudian Rasulullah saw menyilangkan antara jari jemarinya” (Muttafaq ‘alaih)

لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه

“Tidaklah sempurna iman seseorang hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (Muttafaq ‘alaih)
Dan masih banyak lagi penjelasan para ulama tentang keutamaan ilmu (fadhaail al-‘ilm), keutamaan menuntut ilmu (thalab al-‘ilm) & keutamaan menjalin silaturahmi (shilah al-rahiim), berdasarkan pemahaman mereka terhadap al-Quran al-Kariim & as-Sunnah. INFO KEANGGOTAAN • Keanggotaan FORSIKALIKA bersifat fungsional atau dengan kata lain non-struktural. FORSIKALIKA bukan lembaga, tetapi lebih berorientasi fungsional. Menyatukan fungsi ; visi & misi ; organisasi-organisasi ke-Islaman level kampus : para agen misi ; mahasiswa/i muslim ; aktivis dakwah agent of change pejuang Islam.
• FORSIKALIKA dalam penyelenggaraan acara kajian lintas kampus, membentuk kepanitiaan gabungan dari berbagai elemen organisasi-organisasi ke-Islaman level kampus. • Keanggotaan FORSIKALIKA bersifat terbuka, tidak dibatasi jumlah. Terbuka untuk semua selama satu visi dan misi untuk Islam.
KHATIMAH

َالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. اَللَّهُمَّ ارْحَمْ أُمَّةَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، اَللَّهُمَّ اصْلِحْ أُمَّةَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، اَللَّهُمَّ احْفَظْ أُمَّةَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، اَللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنْ أُمَّةِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ َصَلَّى اللهُ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ اَللّهُمَّ ثَبِّتْنَا عَلَى دِيْنِكَ وَحَمْلِ دَعْوَتِكَ إلَى أنْ نَّلْقَاكَ

“Yaa Allah teguhkanlah kami atas agama-Mu dan atas perjuangan mengemban dakwah-Mu hingga kami menemui-Mu”.

اَللّهُمَّ آزِرْنَا بِمَنْ يَّحْمِلُوْنَ مَعَنََا الدَّعْوَةَ وَ عِبْأهَا وَ هَمَّهَا وَ مَسْؤُوْلِيَّتَهَا

“Yaa Allah, kokohkanlah kami dengan orang-orang yang bersama-sama kami dalam perjuangan mengemban dakwah serta dalam memikul tugas, cita-cita dan tanggung jawab dakwah”.

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

”Katakanlah: "Kebenaran telah datang dan yang batil itu tidak akan memulai dan tidak (pula) akan mengulangi” [QS. Saba’ : 49]

”Dan Katakanlah: "Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap". Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” [QS. al-Israa’ : 81]

Wa nahnu ‘alâ dzâlika minasy-syâhidiin, wasy-syâkiriina wal hamdulillâhi rabbil ‘âlamiin

آخِر الكَلاَمِ

Âkhiru da’wânâ anil hamdulillâhi rabbil ’ âlamiin Tammat

Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb []

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Profil Pengelola Web

Irfan Ramadhan (Bogor, 1987)

Jl. Dr. Djundjunan 167 Pasteur Bandung

No Kontak : 08179296234, E-mail : rumi_alhubb@yahoo.co.id

AMANAH :

Ketua DKM Marlina Buchari UNAS PASIM ’07/’08,

Kadiv. Kerohanian PUB PASIM ’07/’08

RIWAYAT PENDIDIKAN

SMAN 2 Cianjur

Pesantren Al-Ikhlash Cianjur

Universitas Nasional PASIM Bandung :

(Kuliah D3 Akuntansi & S1 Sastra Jepang (ct))

Training Thibbun Nabawiy, Desain Grafis,

Web Desain PHP (Magang di IT PASIM), Jurnalistik.

AKTIVITAS :

Mahasiswa, Organisatoris,

Calon Herbalis – Thabib (Entrepreuneur Herba),

Desainer Grafis - Jurnalis

PEKERJAAN

- Desainer Grafis, Jurnalis Majalah Ekspansi

- Entrepreuneur Herba - Thabib Thibbun Nabawiy