Rabu, 03 Desember 2008

Wanita Haid Diam di Masjid ?

WANITA HAID DIAM DI MASJID ?

:: Raiisu Tahriir : DIVISI KEROHANIAN PUB ’07/’08 ::

:: Kaatib : KH. Muhammad Shiddiq al-Jawi (+) akh Irfan Ramadhan ::

Ref : dari berbagai maraaji'

  1. BAGAIMANA HUKUM WANITA HAID BERDIAM DIRI DI MASJID ?

Jumhur atau sebagian besar ulama, di antaranya imam madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali), sepakat bahwa wanita yang haid tidak boleh berdiam (al-lubts) di dalam masjid, karena ada hadits Rasul SAW yang mengharamkannya (Muhammad bin Abdurrahman, Rohmatul Ummah fi Ikhtilaf Al-A`immah, hal. 17). Tapi ada juga ulama yang berpendapat membolehkannya, diantaranya Imam Dawud Azh-Zhahiri membolehkan wanita haid dan orang junub berdiam di masjid. (Lihat Ash-Shan’ani, Subulus Salam, I/92). Namun pendapat yang kuat (rajih berdasarkan kekuatan hujah, dalilnya) adalah pendapat jumhur yang mengharamkannya. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW :

“Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita yang haid dan orang junub.” (HR. Abu Dawud). (Hadits ini shahih menurut Ibnu Khuzaimah. Lihat Subulus Salam, I/92. Menurut Ibn al-Qaththan, hadits ini hasan, Kifayatul Akhyar, I/80)

  1. APA ITU BERDIAM DIRI DI MASJID ?

Yang dimaksud berdiam (Arab : al-lubtsu, atau al-muktsu) artinya berdiam atau tinggal di masjid, misalnya duduk untuk mengisi atau mendengarkan pengajian, atau tidur di dalam masjid. Tidak ada bedanya apakah duduk atau berdiri. Berjalan mondar-mandir (at-taraddud) di dalam masjid, juga tidak dibolehkan bagi wanita haid (Taqiyuddin Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, I/80).

  1. BAGAIMANA HUKUMNYA JIKA SEBATAS MELINTAS (AL-MURUR) SAJA ?

Adapun jika seorang wanita haid sekedar lewat atau melintas (al-murur) di dalam masjid karena suatu keperluan, maka itu tidak apa-apa. Dengan catatan wanita itu tidak merasa khawatir akan mengotori masjid. (Lihat As-Suyuthi, “Al-Qaul fi Ahkam Al-Masajid”, Al-Asybah wa An-Nazha`ir, hal. 241, dan “Bab Al-Haidh”, Al-Asybah wa An-Nazha`ir, hal. 247; As-Sayid A’lawi, Bughyatul Mustarsyidin, hal. 14). Dalilnya, Nabi SAW pernah memerintah ‘A`isyah untuk membawa khumrah (semacam sajadah) yang ada di masjid. Lalu ‘Aisyah ra berkata, “Sesungguhnya aku sedang haid.” Rasul bersabda,”Sesungguhnya haidhmu itu bukan berada di tanganmu.” (HR. Muslim) (Lihat Dr. Mustopha Diibul Bigha, Fiqih Syafi’i (At-Tahdzib), hal. 76; M. Shalih Al-Utsaimin, Al-Fatawa An-Nisa`iyah (Fatwa-Fatwa Tentang Wanita), hal. 44). Selain itu, ada riwayat lain bahwa Maimunah ra pernah berkata,”Salah seorang dari kami pernah membawa sajadah ke masjid lalu membentangkannya, padahal dia sedang haidh.” (HR. An-Nasa`i)(Lihat Dr. Mustopha Diibul Bigha, Fiqih Syafi’i (At-Tahdzib), hal. 77)

  1. SEBENARNYA YANG DIMAKSUD MASJID ITU APA ? BATASAN/DEFINISINYA !

Definisi umum masjid, definisi yang membedakan masjid dengan bangunan yang bukan masjid. Masjid adalah tempat yang ditetapkan untuk mendirikan shalat jamaah bagi orang umum (Lihat Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Sholat, hal. 274-275; Koleksi Hadits-Hadits Hukum, III/368; Ibrahim Anis dkk, Al-Mu’jam Al-Wasith, hal. 416.)

Ada definisi khusus, yaitu masjid dalam pengertian tempat-tempat yang digunakan untuk shalat (mawadhi’ ash-shalat), atau tempat-tempat yang digunakan untuk sujud (mawadhi’ as-sujud) (Lihat Ash-Shan’ani, Subulus Salam I/92 & 152). Dari dua jenis definisi di atas, maka saya -Irfan-, memahami bahwa Masjid Marlina Buchari UNAS PASIM merupakan sebenar-benarnya masjid. Mohon maaf, hal ini saya utarakan untuk membantah pihak yang memahami bahwa Masjid Marlina Buchari itu bukan masjid dalam arti sebenar-benarnya. Saya khawatir kesalahan mendefinisikan tentang masjid, berimplikasi terhadap kesalahan mengamalkan hukum-hukum seputar masjid.

  1. SHALAT JAMA’AH YANG SEPERTI APA ?

Yang dimaksud shalat jamaah, terutama adalah shalat jamaah lima waktu dan shalat Jumat. Namun termasuk juga shalat jamaah sunnah seperti shalat Tarawih dan shalat Idul Fitri atau Idul adha. Di Indonesia, jika hanya untuk berjamaah lima waktu tetapi tidak digunakan shalat Jumat, tempat itu biasanya tidak disebut masjid, tapi disebut musholla, atau nama yang semisalnya, yaitu langgar (Jawa), surau (Sumatera Barat), atau meunasah (Aceh). Sedang istilah masjid atau masjid jami`, biasanya digunakan untuk tempat yang dipakai shalat Jumat. Sebenarnya, semua itu termasuk kategori masjid, menurut definisi di atas. Karena yang penting tempat itu digunakan shalat berjamaah untuk orang umum. Maka, terhadap musholla, atau langgar, surau, atau meunasah, diberlakukan juga hukum-hukum untuk masjid, misalnya wanita haid tidak boleh berdiam di dalamnya. Walaupun tidak dinamakan masjid.

  1. KALAU TEMPAT SHALAT DI RUMAH ? APAKAH SAMA DENGAN MASJID ?

Jika sebuah tempat disiapkan untuk shalat jamaah, tapi hanya untuk orang tertentu (misal penghuni suatu rumah), salah seorang guru saya, KH. Muhammad Shiddiq al-Jawi (pimpinan Ma’had Taqiyuddin-Yogyakarta, Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI) berpendapat bahwa tempat itu tidak dinamakan masjid, dan tidak diterapkan hukum-hukum masjid padanya. Demikian pula jika sebuah tempat hanya digunakan untuk shalat secara sendiri, bukan untuk shalat jamaah, maka itu juga bukan dinamakan masjid.

  1. KALAU RUANG SEKRETARIAT, RUANG RAPAT, TOKO, DAN TERAS MASJID, APAKAH DIHUKUMI SAMA SEPERTI MASJID ?

Definisi khusus masjid ; masjid merupakan tempat-tempat yang digunakan untuk shalat (mawadhi’ ash-shalat), atau tempat-tempat yang digunakan untuk sujud (mawadhi’ as-sujud) (Lihat Ash-Shan’ani, Subulus Salam I/92 & 152)

Definisi khusus di atas, membedakan berlakunya hukum masjid bagi sebuah kompleks bangunan masjid yang luas dan terdiri dari beberapa bangunan atau ruang untuk berbagai keperluan. Sebab adakalanya sebuah kompleks masjid itu memiliki banyak ruangan, atau mungkin mempunyai dua lantai, mempunyai kamar khusus untuk penjaga masjid, mempunyai ruang sidang/rapat, toko, teras, tempat parkir, dan sebagainya. Bahkan ada masjid yang lantai dasarnya kadang digunakan untuk acara resepsi pernikahan, pameran, dan sebagainya. Apakah semua ruangan itu disebut masjid dan berlaku hukum-hukum masjid? Menurut pemahaman kami, jawabnya tidak. Dalam keadaan ini, berlakulah definisi khusus masjid, yaitu masjid sebagai mawadhi` ash-sholat (tempat-tempat sholat) (Lihat Ash-Shan’ani, Subulus Salam I/92 & 152) Maka dari itu, teras masjid bukanlah masjid, jika teras itu memang tidak digunakan untuk shalat jamaah. Jika digunakan shalat jamaah, termasuk masjid. Demikian pula bagian masjid yang lain, misalnya ruang sidang, ruang rapat, kamar penjaga masjid, tempat parkir, dan sebagainya. Semuanya bukan masjid jika tidak digunakan untuk shalat jamaah. Ringkasnya, semua tempat atau ruang yang tidak digunakan shalat jamaah, tidak dinamakan masjid, meski pun merupakan bagian dari keseluruhan bangunan masjid. Bagaimana andaikata suatu tempat di masjid (misalkan teras) kadang digunakan shalat jamaah dan kadang tidak? Jawabannya adalah sebagai berikut. Yang menjadi patokan adalah apakah suatu tempat itu lebih sering dipakai shalat jamaah, atau lebih sering tidak dipakai untuk shalat jamaah. Jika lebih sering dipakai shalat jamaah, maka dihukumi masjid. Jika lebih sering tidak dipakai, maka tidak dianggap masjid.

Yang demikian itu bertolak dari suatu prinsip bahwa hukum syara’ itu didasarkan pada dugaan kuat (ghalabatuzh zhann). Dan dugaan kuat itu dapat disimpulkan dari kenyataan yang lebih banyak/dominan (aghlabiyah). Ini sebagaimana metode para fuqaha ketika menetapkan pensyariatan Musaqah (akad menyirami pohon) --bukan Muzara’ah (akad bagi hasil pertanian)-- di tanah Khaybar. Mengapa? Karena tanah di Khaybar (sebelah utara Madinah) pada masa Nabi SAW sebagian besarnya adalah tanah-tanah yang berpohon kurma. Sedang di sela-sela pohon kurma itu, yang luasnya lebih sedikit, ada tanah-tanah kosong yang bisa ditanami gandum. Hal ini bisa diketahui dari riwayat Ibn Umar, bahwa hasil pertanian Khaybar yang diberikan Nabi kepada para isteri beliau, jumlahnya 100 wasaq, terdiri 80 wasaq buah kurma dan 20 wasaq gandum (HR. Bukhari) (Lihat Taqiyuddin An-Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, hal. 319). Karena yang lebih banyak adalah hasil kurma, bukan gandum, maka akad yang ada di Khaybar sesungguhnya adalah Musaqah, bukan Muzara`ah. Penjelasan di atas menunjukkan contoh kasus bahwa hukum syara’ itu dapat didasarkan pada kenyataan yang lebih banyak (aghlabiyah). Maka dari itu, ketika kita menghadapi fakta adanya teras masjid yang kadang dipakai shalat dan kadang tidak dipakai shalat jamaah, kita harus melihat dulu, manakah yang aghlabiyah (yang lebih banyak/sering). Jika lebih sering dipakai shalat jamaah, maka teras itu dihukumi masjid. Dan jika lebih sering tidak dipakai shalat jamaah, maka teras itu dianggap bukan masjid.

BAGAIMANA DENGAN PENDAPAT YANG MEMBOLEHKANNYA ?

Memang ada juga ulama yang membolehkan wanita haid berdiam di masjid asalkan ia merasa aman (tidak khawatir) mengotori masjid, misalnya dengan memakai pembalut (Taqiyuddin Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, I/78). Dalam Syarah Al-Bajuri Juz I hal. 115 dikatakan, bahwa kalau wanita haid tidak khawatir akan mengotori masjid, atau bahkan merasa aman, maka pada saat itu tidak diharamkan baginya masuk masjid, tetapi hanya makruh saja (KH. Moch Anwar, 100 Masail Fiqhiyah : Mengupas Masalah Agama yang Pelik dan Aktual, hal. 51)

Guru saya, KH. Muhammad Shiddiq al-Jawi (Ma’had Taqiyuddin-Yogyakarta, Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI) menjelaskan bahwa, pendapat itu tidak dapat diterima. Sebab pendapat tersebut tidak mempunyai landasan syar’i yang kuat. Pendapat tersebut menjadikan “kekhawatiran mengotori masjid”, sebagai ’illat (alasan penetapan hukum) bagi haramnya wanita berdiam di masjid. Jadi, jika kekhawatiran itu sudah lenyap (misalnya dengan memakai pembalut), maka hukumnya tidak haram lagi. Padahal,

1. Hadits yang ada tidak menunjukkan adanya illat bagi haramnya wanita haid untuk berdiam di masjid. Jadi tidak dapat dikatakan bahwa keharamannya dikarenakan ada kekhawatiran akan menajiskan masjid. Sehingga jika kekhawatiran itu lenyap (dengan memakai pembalut) maka hukumnya tidak haram. Tidak bisa dikatakan demikian, karena nash yang ada tidak menunjukkan adanya illat itu. Nabi SAW hanya mengatakan, “Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita yang haid dan orang junub.” Nash ini jelas tidak menunjukkan adanya illat apa pun, baik illat secara sharahah (jelas), dalalah (penunjukan), istinbath, atau qiyas. Di sisi lain, sebagaimana penjelasan al-’allamah asy-syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab Mafaahiim Hizb at-Tahriir,illat yang sah adalah ’illat syar’iyyah yaitu yang berdasarkan kepada nash syara’ yang diambil dari Al-Quran dan As-Sunnah, karena hanya Al-Quran dan As-Sunnah yang manjadi nash-nash syara’. Karena itu ’illat yang menjadi dasar hukum syara’ harus ’illat syar’iyyah, bukan ’illat ’aqliyyah (akal).

2. Sejauh yang saya pahami, al-’allamah asy-syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab Mafaahiim Hizb at-Tahriir, menjelaskan bahwa, ’hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan ibadah, akhlak, makanan, dan pakaian tidak boleh dicari-cari ’illatnya’. Sedangkan hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan mu’amalat dan ’uqubah (persanksian) dikaitkan berdasarkan ’illatnya, karena hukum syara’ dalam hal ini didasarkan pada suatu ’illat yang melatarbelakangi adanya hukum’. ’illat syar’iyyah adalah apa yang tercantum dalam nash syara’, yang harus terikat dengan nash dan terbatas pada penunjukkan maknanya. Dalam hal ini, nash syara’ tidak pernah menunjukkan bahwa mendatangkan mashlahat dan menolak mafsadat sebagai ’illat. Jadi ’illat syar’iyyah adalah apa yang telah tercantum di dalam nash, dan bukan didasarkan pada sesuatu yang mendatangkan maslahat atau menolak mafsadat’.

3. Lagi pula nash tersebut bersifat mutlaq, bukan muqayyad. Jadi yang diharamkan berdiam di masjid adalah wanita haid, secara mutlak. Baik wanita haid itu dapat mengotori masjid, atau tidak. Memakai pembalut atau tidak. Jadi, selama tidak ada dalil yang memberikan taqyid (batasan atau sifat tertentu) --misalnya yang diharamkan hanya wanita haid yang dapat mengotori masjid— maka dalil hadits tersebut tetap berlaku untuk setiap wanita haid secara mutlak. Hal ini sesuai kaidah ushul fiqh :

Al-muthlaqu yajriy ‘ala ithlaaqihi maa lam yarid daliil at-taqyiid’

“[Lafazh] mutlak tetap berlaku dalam kemutlakannya selama tidak ada dalil yang menunjukkan adanya taqyid (pemberian batasan/sifat tertentu).” (Lihat Wahbah Az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqh Al-Islami, I/208; Imam Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul, hal. 164)

Wallaahu a’lam bi ash-shawaab [ ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar